Mitos Dewi Sri, Munculkan Tradisi Bersih Desa Sehabis Panen Padi

Intinya sih...
- Dewi Sri, dewi padi dan kesuburan tanaman, dihormati dengan tradisi selamatan setelah panen
- Tradisi bersih desa dilaksanakan untuk memuliakan Dewi Sri dan Sadana, pasangan suami istri yang dikutuk
- Bersih desa meliputi pembersihan makam, masjid, jalan-jalan di desa, doa bersama, hiburan tradisional, sebagai ungkapan syukur atas hasil bumi
Dalam budaya Jawa, Dewi Sri dikenal sebagai dewi padi dan simbol kesuburan tanaman. Kehadirannya diyakini membawa berkah di bidang pertanian. Oleh karena itu, setiap awal masa tanam hingga panen, masyarakat menggelar selamatan sebagai ungkapan syukur dan penghormatan.
Seperti apa kisah mistisnya hingga memunculkan pelaksanaan tradisi bersih desa?
1.Tradisi methuk Dewi Sri, dan fungsi lumbung desa
Di desa-desa Jawa, ada sebuah tradisi untuk memuliakan Dewi Sri yang dikenal dengan sebutan wiwit, atau juga disebut methuk Dewi Sri. Momen spesial setiap selesai panen, masyarakat melakukan slametan sebagai rasa terima kasih atas hasil panen yang melimpah.
Setelah padi dipanen, lalu dikeringkan, dan disimpan di lumbung rumah masing-masing. Menariknya, di desa juga ada semacam arisan padi yang dikelola bersama bernama lumbung desa. Fungsinya adalah jika saat musim paceklik yang artinya sedang kekurangan padi, masyarakat masih punya cadangan beras yang akan dibagikan. Jadi, tradisi semacam ini tak hanya soal spiritual, tapi juga gotong royong warga dalam mengelola pangan.
2.Kenduri untuk menghormati Dewi Sri dan Sadana
Warga mengadakan kenduri di rumah pemuka desa. Ada sesaji yang disiapkan khusus berupa dua buah golong, ini dipersembahkan kepada Dewi Sri dan Sadana, kakak dari Sri.
Ternyata, menurut Suwardi Endraswara dalam buku Falsafah Hidup Jawa, Dewi Sri dan Sadana bukan kakak beradik seperti yang selama ini dipahami masyarakat. Mereka sebenarnya pasangan suami istri. Dewi Sri adalah penjelmaan batari Sri (istri Dewa Wisnu), sementara Sadana adalah penjelmaan Dewa Wisnu.
3.Kisah Dewi Sri dan Sadana
Konon, Dewi Sri adalah penjelmaan dari Wiji Widayat. Wiji Widayat akan dianugerahkan kepada titah marcapada oleh batara Guru. Batara Guru adalah sosok yang posisinya paling tinggi, gaya kepemimpinannya otoriter, dan segala keputusannya harus dipatuhi oleh kalangan di bawahnya.
Masalahnya, saat wahyu diturunkan ke bumi, ternyata gak sesuai kehendak batara Guru. Karena murka, wahyu itu dikutuk dan meluncur sampai ke dasar laut, hingga masuk ke perut Nagaraja. Perut Nagaraja jadi sakit, dan dia dibawa ke batara Guru. Saat perutnya dipegang oleh batara Guru, naga itu muntah dan lahirlah dua sosok ajaib, Sri dan Sadana.
Ketika dewasa, Sri dan Sadana ternyata malah saling jatuh cinta dan menyatakan niat ingin menikah. Batara Guru marah karena merasa bahwa mereka itu saudara sepupu. Keduanya dikutuk dan akhirnya meninggal. Jenazah mereka dimasukkan ke peti dan dibuang ke hutan.
Dua dewa bernama Wangkas dan Wangkeng yang bertugas membuang peti merasa penasaran, lalu dibukalah penutup petinya, dan mereka terkejut karena jenazah Sadana menghilang. Bersamaan dengan itu keluar walang sangit dengan jumlah yang banyak banget. Gak mau makin kacau, peti segera ditutup lagi, lalu dikuburkan di hutan Krendawahana.
Beberapa hari setelah dikuburkan, petani sekitar menyiram kuburan dengan air bunga. Dan, setelah tujuh hari, tiba-tiba dari tanah kuburan itu tumbuh tanaman padi yang subur.
Sejak saat itu, Dewi Sri dipercaya sebagai dewi pembawa berkah bagi petani padi. Petani pun rutin memberi sesaji setiap selesai panen. Dan, benar saja, desa jadi semakin makmur karena hasil panennya melimpah. Nggak heran juga dari mitos ini sampai sekarang, Dewi Sri tetap jadi pujaan hati para petani.
4.Munculnya tradisi bersih desa
Namun, ada masa di mana padi yang subur diserang hama walang sangit. Serangga kecil yang berbau khas banget ini ternyata punya kisah mistis. Menurut cerita, walang sangit itu berasal dari roh Raden Sadana, yang sebenarnya adalah penitisan Dewa Wisnu.
Kenapa malah mengganggu padi? Konon, ini sebagai upaya mistis yang mempertemukan Sadana (Wisnu) dengan Dewi Sri. Untuk mengenang dan menghormati kisah ini, petani Jawa mengadakan bersih desa setiap selesai panen.
Bersih desa dilaksanakan setahun sekali pasca panen padi. Menjelang acara, warga bergotong royong membersihkan makam, masjid, jalan-jalan di desa, sampai halaman rumah. Tujuannya supaya desa terlihat bersih dan rapi.
Selanjutnya, warga kendurian di masjid atau balai desa, maupun rumah warga yang luas. Semua yang datang membawa nasi dan lauk dari rumah. Doa bersama dipimpin oleh tokoh masyarakat sehingga prosesinya semakin sakral. Setelah berdoa, makanannya dibawa pulang untuk dinikmati bersama keluarga.
Malam harinya, waktunya menikmati hiburan tradisional. Tiap daerah punya versi sendiri, ada yang menggelar pertunjukan wayang kulit dengan Lakon yang dimainkan oleh dalang yaitu “Sri Mulih”. Ada pula yang mengadakan hiburan campur sari maupun ketoprak.
Semua jadi penyegar suasana setelah berbulan-bulan berjibaku di sawah. Yang terpenting dari semua ini seperti yang dituliskan Gesta Bayuadhi dalam buku Tradisi-Tradisi Adiluhung Para Leluhur Jawa, yaitu sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan atas hasil bumi yang melimpah. Dari sebuah mitos tercipta tradisi yang mengingatkan manusia untuk bersyukur, rukun, gotong royong, dan merayakan hasil upayanya dengan suka cita bersama-sama.