Gusti Raden Mas Gatot Menol, pewaris tahta Sultan Hamengkubuwono IV (kratonjogja.id)
Karena usia Sultan HB IV yang masih sangat muda, pemerintahan dijalankan dengan pendampingan dari wali raja. Salah satu wali raja yang diangkat pada masa itu adalah Pangeran Notokusumo yang memiliki gelar Paku Alam I. Kedudukannya sebagai wali berlangsung hingga sang sultan mencapai aqil baligh di 16 tahun pada tahun 1820.
Namun, pada tahun 1816 menjelang penyerahan kekuasaan Inggris ke Belanda, wewenang sebagai wali sultan di pemerintahan dijalankan oleh sang ibunda sultan dan Patih Danurejo IV.
Saat itu, Patih Danurejo untuk yang pertama kalinya mendukung sistem sewa tanah untuk pihak swasta, mengakibatkan kesengsaraan bagi warga Kasultanan. Patih Danurejo IV juga menempatkan kerabat-kerabatnya menduduki posisi strategis.
Keputusan Patih ini menciptakan kerenggangan antara Pangeran Diponegoro dengan keraton. Pada tahun 1820, di hadapan Sultan yang mulai menjalankan kekuasaannya secara mandiri, Pangeran Diponegoro mencela Patih Danurejo IV yang telah menyewakan tanah kerajaan.
Pada 6 Desember 1823, 2 tahun setelah menjalankan pemerintahannya secara mandiri, Sultan HB IV wafat. Salah satu sumber menyatakan bahwa beliau wafat setelah pulang bertamasya, tetapi sumber lain menyebutkan beliau meninggal pada saat bertamasya. Atas dasar peristiwa tersebut, Sultan mendapatkan gelar Sultan Seda Besiyar.
Takhta Kasultanan kemudian diteruskan oleh putranya dari permaisuri GKR Kencono, Gusti Raden Mas Gatot Menol, yang masih berusia 3 tahun.