ilustrasi Culture Shock (pexels.com/Yan Krukov)
Istilah culture shock pertama kali diperkenalkan pada pertengahan 1950-an oleh Kalervo Oberg. Ia mendefinisikan hal ini sebagai kecemasan akibat hilangnya semua tanda dan simbol hubungan sosial yang sudah dikenal. Tanda dan simbol yang akrab di sini berarti ciri khas dari budaya di mana seseorang tinggal atau dibesarkan.
Hal ini dapat berarti hal sederhana seperti cara memberi salam, kapan harus berjabat tangan, sampai hal kompleks seperti bagaimana menyanggah pendapat lawan bicara. Kita mempelajari semua perilaku ini seiring bertambahnya usia, menganggapnya 'normal' dan mungkin universal.
Karena itu, ketika seseorang memasuki tempat atau negara asing dan sadar bahwa semua yang dia ketahui tidak ada di sana, seseorang cenderung menjadi cemas dan bahkan frustrasi. Secara sederhana, culture shock dapat dipahami sebagai keadaan terkejut dan tertekan yang dialami seseorang saat menghadapi lingkungan yang tidak dikenal.
Lebih lanjut, untuk menguasainya, seseorang harus berusaha untuk memahami budaya dari tempat tujuan. Hal ini memakan waktu yang bervariasi, tergantung individu masing-masing. Menurut psikolog Adrian Furnham, proses ini dinamakan dengan fase culture shock, yang secara umum terbagi menjadi empat fase sebagai berikut: