Rombongan pejabat kolonial Belanda di sebuah pura di Sangsit, Buleleng, tahun 1928. (KITLV via instagram.com/Sejarah.Buleleng)
Batik nitik lahir dari kekecewaan dan kemarahan masyarakat Jawa terhadap pemerintah kolonial Belanda. Tidak heran jika jenis batik satu ini begitu dihargai oleh pemerintah Indonesia dan Keraton Yogyakarta.
Melansir situs Warisan Budaya Takbenda Indonesia, batik nitik digunakan sebagai siasat penggulingan kekuasaan pemerintah Belanda pada kain di Nusantara. Saat itu, tepatnya pada tahun 1600-an hingga tahun 1700-an, Belanda memonopoli penjualan kain tenun Patola India atau kain cinde. Karena kecurangan tersebut, perempuan Jawa berinisiatif membuat motif pengganti dan menetapkan harga lebih murah, sehingga munculah motif nitik.
Lalu, batik ini pun sempat menjadi pakaian resmi Keraton Yogyakarta ketika kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Oleh sebab itu, batik nitik juga termasuk motif batik tertua di lingkungan Keraton.