Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

"Koesroyo: The Last Man Standing" Sisi Lain Sang Legenda

Koesroyo: The Last Man Standing (IDN Times/Yogie Fadila)
Intinya sih...
  • Film dokumenter "Koesroyo: The Last Man Standing" mengangkat kisah hidup Yok Koeswoyo, personel terakhir Koes Bersaudara/Koes Plus.
  • Sesi wawancara dalam film ini dipandu dengan kelembutan oleh putri Yok, Sari Koeswoyo, menjadikan percakapan hangat dan intim.
  • Pesan pertama dari Yok saat izin merekam memberi urgensi bagi tim produksi untuk menangkap setiap momen dengan baik.

Yogyakarta, IDN Times – Suasana penuh haru dan nostalgia menyelimuti pemutaran spesial film dokumenter "Koesroyo: The Last Man Standing" di CGV J-Walk, Yogyakarta, pada Sabtu (17/5/2025). Film yang mengangkat kisah hidup Koesroyo Koeswoyo, atau lebih akrab disapa Yok Koeswoyo, personel terakhir dari grup legendaris Koes Bersaudara/Koes Plus, berhasil menyentuh hati para penonton yang hadir.

Acara yang digagas oleh Ceritera Nusantara Nawasena bekerja sama dengan Voluntrip by KitaBisa ini bukan hanya sekadar menonton bareng fans, tetapi juga sebuah perayaan mendalam atas perjalanan seorang ikon musik Tanah Air. Film berdurasi 61 menit ini mengajak penonton menyelami berbagai sisi kehidupan Yok Koeswoyo yang selama ini mungkin belum banyak diketahui publik.

Mulai dari cerita personal tentang keluarga, makna mendalam di balik lagu-lagu ikonik ciptaannya, hingga perjalanan panjang karier musik Koes Plus yang sarat dengan berbagai momen penting dalam sejarah musik Indonesia, termasuk pengalaman getir saat Koes Bersaudara dipenjara oleh Pemerintah Orde Lama serta perannya sebagai petugas intelijen negara.

Linda Ochy, sang sutradara, yang hadir bersama Sari Koeswoyo (putri Yok Koeswoyo sekaligus produser film), mengungkapkan bahwa film ini adalah perwujudan kisah-kisah Nusantara. "Dalam film dokumenter ini, penonton bukan sekadar pengamat pasif, tetapi diajak bernostalgia dan mendengarkan cerita tentang band berpengaruh Indonesia ini serta tentang Yok sebagai pribadi— sebagai ayah, suami, dan musisi," ungkap Linda, menekankan kedalaman personal yang ingin diangkat.

1. Keintiman tutur kata Yok Koeswoyo, dipandu oleh sang putri

Linda Ochy dan Sari Koeswoyo memberi sambutan sebelum pemutaran film (IDN Times/Yogie Fadila)

Salah satu daya tarik dan kekuatan utama dari "Koesroyo: The Last Man Standing" tak lain adalah cara bertutur Yok Koeswoyo sendiri. Dipandu dengan penuh kelembutan dan kasih oleh putrinya, Sari Koeswoyo, sesi wawancara dalam film ini menjelma menjadi sebuah percakapan yang begitu hangat, intim, dan mengalir dengan kejujuran.

Kehadiran Sari bukan hanya sebagai pewawancara, melainkan sebagai jembatan emosi yang membuat sang ayah nyaman membuka lembaran-lembaran kisah hidupnya. Dalam sesi diskusi, Sari Koeswoyo berbagi cerita mengenai awal mula tercetusnya ide film ini. Semua berawal dari keinginan sebagai anak untuk memberikan sesuatu yang berarti bagi sang ayah, terutama setelah Yok Koeswoyo jatuh sakit pada Februari 2023. "Awalnya yang terpikir adalah kita bikin show musik dengan lagu-lagu untuk tribute, tapi ternyata modalnya [besar]... Waduh!" kenang Sari sambil tersenyum.

Gayung bersambut ketika Linda Ochy mengusulkan untuk mengabadikan kisah ini dalam format film dokumenter. Meski sempat dihinggapi keraguan, mengingat karakter ayahnya yang begitu khas, Sari memberanikan diri. "Yang kenal Papa dari zaman dulu pasti tahu kan modelannya Papa. Kalau Papa lagi gak mau, ya dia gak mau," cerita Sari. "Saya cuma bilang, 'Lin, datang aja sama tim ke rumah, kenalan saja dulu sama Papa. Nanti kalian sendiri yang ngomong.'"

2. Proses pembuatan film dimulai dengan "sogokan"

Cuplikan di balik pembuatan film (Dok. Koesroyo

Proses pendekatan pun dilakukan dengan hati-hati, termasuk membawa "sogokan" berupa kue kesukaan Yok Koeswoyo. Tak disangka, respons sang legenda begitu positif. "Setelah Linda dan teman-teman berkenalan, terus Papa cuman bilang, 'Ya ayo boleh. Ayo bikin filmnya.' Lalu beliau masuk ke kamar, ambil peci. Peci ini [menunjuk peci yang dipakai Yok pada poster film]. Ambil peci itu terus langsung duduk, 'Ayo kita sekarang syuting'," tutur Sari, menggambarkan antusiasme ayahnya yang seketika membuyarkan segala kekhawatiran. Momen spontan itulah yang kemudian menjadi titik awal perjalanan 18 bulan penggarapan film dokumenter ini.

Linda Ochy menambahkan betapa berkesannya pesan pertama dari Yok Koeswoyo saat mereka meminta izin untuk merekam. "Waktu itu Om cuma bilang, 'Boleh tapi sekarang karena besok aku belum tentu ada'," ujar Linda, menirukan ucapan Yok yang menyiratkan urgensi dan kesadaran akan waktu. Kalimat tersebut menjadi pelecut semangat bagi seluruh tim untuk menangkap setiap momen dan pemikiran sang musisi dengan sebaik-baiknya. Dari total materi rekaman sepanjang 4,5 jam, akhirnya disunting menjadi 61 menit yang padat dan sarat makna.

3. Tidak berlebihan dan apa adanya

Penggemar Koes Plus / Koes Bersaudara antusias sebelum pemutaran film (IDN Times/Yogie Fidila)

Sari Koeswoyo juga menegaskan tujuan utama film ini bukanlah untuk mengumbar sensasi atau membuka rahasia keluarga. "Ini adalah sebuah dokumenter, bukan reality show. Kami tidak mengumbar rahasia keluarga," tegasnya. "Harapan saya adalah bahwa dengan melihat film Koesroyo ini, Mas-mas dan Mbak-mbak yang sudah kenal Papa itu mungkin bisa lebih mengetahui Papa lebih dalam lagi."

Sari menggambarkan ayahnya sebagai seorang seniman sejati yang kompleks, yang tak mudah ditebak kedalaman hatinya.  Saya pikir seniman sejati itu memang tidak bisa ditebak. Hatinya itu lebih dalam daripada dalamnya lautan," pungkas Sari.

Selain pemutaran film dan sesi diskusi yang interaktif, "Perayaan Koesroyo: The Last Man Standing" di Yogyakarta juga diisi dengan sesi berbagi "Refleksi Perayaan Koesroyo" yang dipandu oleh Voluntrip by KitaBisa. Para hadirin juga diajak untuk menuliskan refleksi mereka dalam bentuk "Love Letter" yang ditujukan untuk Koesroyo maupun untuk diri mereka sendiri.

"Koesroyo: The Last Man Standing" bukan hanya sekadar dokumentasi perjalanan seorang musisi besar, tetapi lebih dari itu, ia adalah sebuah rekaman tulus tentang kehidupan, keluarga, dan dedikasi yang disampaikan dengan cara yang paling menyentuh: melalui percakapan intim antara ayah dan anak. Sebuah warisan berharga bagi dunia musik Indonesia dan para penggemarnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Febriana Sintasari
Yogie Fadila
Febriana Sintasari
EditorFebriana Sintasari
Follow Us