Illustrasi Keraton Yogyakarta (pixabay.com)
Pada 17 Agustus 1945 sore, Ki Hadjar Dewantara bersama murid dan guru Taman Siswa berkeliling kota untuk pawai dengan sepeda menyebarkan kabar gembira, yaitu telah dilakukan proklamasi kemerdekaan di Jakarta. Berita ini disambut rakyat dengan bahagia. Bahkan, pada saat itu Masjid Besar Yogyakarta turut mengabarkan di waktu salat Jumat.
Tak butuh waktu lama, Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengirimkan telegram dari Yogyakarta ke Jakarta yang isinya adalah ucapan selamat atas terbentuknya NKRI. Diketahui dari buku karya Ismail, dkk, Seorang Nasionalis Bernama Sultan HB IX (2023), dua hari kemudian dikirim lagi telegram dengan isi yang menegaskan bahwa Yogyakarta berdiri di belakang pimpinan mereka. Hal senada turut disampaikan oleh Paku Alam VII.
Ini adalah kali pertama sebuah kerajaan di Indonesia mengambil sikap politik untuk bergabung dengan NKRI. Langkah tersebut diikuti Sunan Pakubuwono XII dan Mangkunegaran dari Surakarta pada 1 September 1945, Sultan Hamid II dari Kesultanan Kadriyah Pontianak di tanggal 27 Desember 1949.
Kemudian pada tanggal 5 September, Sultan mengeluarkan amanat yang isinya:
- Ngayogyakarta Hadiningrat adalah kerajaan berwujud daerah istimewa Republik Indonesia,
- Sultan adalah kepala daerah Yogyakarta,
- Sultan bertanggung jawab langsung kepada presiden.
Pada tanggal yang sama, Paku Alam VIII mengeluarkan pernyataan resmi yang sama untuk kerajaannya.
Keputusan Ngarsa Dalem tersebut tentu menuai beragam reaksi. Dalam catatan A Prince in a Republic, John Monfries mengatakan meski Indonesia sudah merdeka tapi ancaman penjajahan belum sepenuhnya selesai. Belanda pun bisa sewaktu-waktu menagih kesetiaan Sultan Hamengku Buwono IX yang pada 1940 menandatangani perjanjian dengan Belanda sebagai syarat pelantikan dirinya naik takhta.