ilustrasi percakapan (unsplash.com/ Arya Krisdyantara)
Bagi sebagian orang Jawa, kepercayaan terhadap keberadaan makhluk halus masih cukup kuat. Suwardi Endraswara dalam bukunya Falsafah Hidup Jawa, menyebutkan bahwa karena kepercayaan itu maka hendaknya setiap akan perjalanan, apalagi melewati tempat-tempat yang konon dihuni makhluk halus sehingga dianggap angker, maka perlu hati-hati. Oleh karena itu, juga dijelaskan untuk mengurangi rasa takut dan mencegah gangguan gaib, masyarakat pun memberi sesaji.
Sejalan dengan pandangan itu, dalam buku Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa karya Franz Magnis Suseno, juga menuturkan bahwa orang Jawa Kejawen yang masih percaya pada roh-roh tak kasatmata, supaya aman terlindungi maka perlu memberi sesaji. Sesajen bisa berupa bunga, kemenyan, maupun makanan, atau lainnya.
Konteksnya terhadap mitos Kyai Sapu Jadad ini, tradisi sesaji yang diwujudkan dalam upacara Labuhan setiap tahunnya agar tercipta keharmonisan. Hubungan baik antara Gunung Merapi, Keraton Jogja, dan Laut Selatan dalam upaya menjaga keseimbangan alam dan sekitarnya.
Gunung Merapi tak hanya menyajikan pemandangan alam yang indah, tapi juga momen budaya setiap tahunnya. Kisah Kyai Sapu Jagad yang diyakini sebagai penjaga gaib Merapi, menunjukkan bahwa warisan leluhur tak akan pernah luntur, sebab dijaga kelestariannya sampai sekarang.
Pihak keraton Jogja beserta masyarakat masih terus menjalankan upacara adat ini. Lestarinya upacara Labuhan Merapi jadi bukti bahwa masyarakat menghormati alam dan ingin menjalin hubungan harmonis. Hal semacam ini masih relevan, bahkan penting untuk dikenalkan ke generasi penerus sebab tradisi leluhur senantiasa mengajarkan filosofi kehidupan, dan membentuk perilaku masyarakat berbudaya.