Kisah Kyai Sapu Jagad, Asal Mula Sesaji di Gunung Merapi

- Tradisi sesaji di Gunung Merapi untuk menjaga keseimbangan alam dan keselamatan warga sekitar
- Kisah Kyai Sapu Jagad, makhluk halus penjaga gaib Merapi, dan asal mula tradisi persembahan sesaji di puncak gunung
- Upacara Labuhan Merapi sebagai bentuk lestarinya tradisi adat yang mengajarkan filosofi kehidupan dan membentuk perilaku masyarakat berbudaya
Merapi juga menyimpan cerita-cerita misteri yang memiliki nilai spiritual. Ada sebuah tradisi memberi sesajen yang sudah berjalan lama dan masih dilestarikan untuk menjaga keseimbangan alam Merapi, serta keselamatan warga sekitar.
Tradisi ini erat kaitannya dengan sosok Kyai Sapu Jagad, yang diyakini masyarakat sebagai salah satu makhluk halus penghuni Merapi. Bagaimana ceritanya sehingga ada tradisi persembahan berupa sesaji di sana?
1.Mitos Kyai Sapu Jagad

Dikisahkan bahwa Panembahan Senopati, sultan pertama kerajaan Mataram yang sedang bersemedi membuat Gunung Merapi bergetar, laut bergelora, hingga ribuan makhluk halus takluk karena energi dari semedinya. Kondisi tersebut membuat Kanjeng Ratu Kidul muncul ke hadapannya.
Sang Ratu pun jatuh cinta, dan berjanji akan menjadi kekasih Senopati, bahkan keturunannya juga dengan syarat Senopati memakan Endhog Jagad darinya. Namun, karena Senopati curiga bahwa telur itu akan mengubahnya menjadi roh tanpa raga, maka diberikan kepada tukang kebun istana.
Dan, benar saja, tukang kebun pun langsung berubah wujud jadi sosok buruk rupa. Karena malu, maka ia pergi ke Gunung Merapi untuk bersembunyi.
2.Pengangkatan Kyai Sapu Jagad sebagai patih keraton Merapi

Di puncak Merapi, ada sebuah keraton yang dihuni oleh makhluk-makhluk halus. Selayaknya keraton di dunia nyata, di sana juga ada pemimpin dan patih-patihnya. Dalam buku Mitos Merapi dan Kearifan Ekologi karya Wisnu Minsarwati, diceritakan bahwa Kyai Sapu Jagad diangkat menjadi patih di keraton Merapi. Ia diberi tugas untuk memimpin pasukan gaib dan menjaga keseimbangan alam Gunung Merapi.
Sejak saat itu, Senopati dan keturunannya secara rutin mengirimkan sesaji berupa makanan dan pakaian untuk Kyai Sapu Jagad. Itulah asal mula adanya sesaji di sana, dan masih lestari sampai sekarang yang diwujudkan dalam upacara Labuhan.
3.Kepercayaan terhadap makhluk halus dan hubungannya dengan sesaji

Bagi sebagian orang Jawa, kepercayaan terhadap keberadaan makhluk halus masih cukup kuat. Suwardi Endraswara dalam bukunya Falsafah Hidup Jawa, menyebutkan bahwa karena kepercayaan itu maka hendaknya setiap akan perjalanan, apalagi melewati tempat-tempat yang konon dihuni makhluk halus sehingga dianggap angker, maka perlu hati-hati. Oleh karena itu, juga dijelaskan untuk mengurangi rasa takut dan mencegah gangguan gaib, masyarakat pun memberi sesaji.
Sejalan dengan pandangan itu, dalam buku Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa karya Franz Magnis Suseno, juga menuturkan bahwa orang Jawa Kejawen yang masih percaya pada roh-roh tak kasatmata, supaya aman terlindungi maka perlu memberi sesaji. Sesajen bisa berupa bunga, kemenyan, maupun makanan, atau lainnya.
Konteksnya terhadap mitos Kyai Sapu Jadad ini, tradisi sesaji yang diwujudkan dalam upacara Labuhan setiap tahunnya agar tercipta keharmonisan. Hubungan baik antara Gunung Merapi, Keraton Jogja, dan Laut Selatan dalam upaya menjaga keseimbangan alam dan sekitarnya.
Gunung Merapi tak hanya menyajikan pemandangan alam yang indah, tapi juga momen budaya setiap tahunnya. Kisah Kyai Sapu Jagad yang diyakini sebagai penjaga gaib Merapi, menunjukkan bahwa warisan leluhur tak akan pernah luntur, sebab dijaga kelestariannya sampai sekarang.
Pihak keraton Jogja beserta masyarakat masih terus menjalankan upacara adat ini. Lestarinya upacara Labuhan Merapi jadi bukti bahwa masyarakat menghormati alam dan ingin menjalin hubungan harmonis. Hal semacam ini masih relevan, bahkan penting untuk dikenalkan ke generasi penerus sebab tradisi leluhur senantiasa mengajarkan filosofi kehidupan, dan membentuk perilaku masyarakat berbudaya.