Ilustrasi Makam Kiai Modjo (kebudayaan.kemdikbud.go.id)
Mengutip dari laman Direktorat SMP Kemendikbud, pecahnya Perang Jawa yang dikobarkan oleh Pangeran Diponegoro karena Belanda yang mulai ikut campur perihal urusan Keraton Kasultanan Yogyakarta. Ditambah lagi sejak tahun 1821 petani lokal menderita karena penyewaan tanah oleh warga Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman yang sewenang-wenang.
Peran Kiai Mojo sangat penting dalam perang yang berlangsung pada tahun 1825-1830 tersebut. Berulang kali pemerintah Belanda menawarkan perdamaian dan menjanjikan kedudukan asal Kiai Mojo bersedia mengikuti mereka. Namun tentu saja hal ini ditolak mentah-mentah olehnya.
Mengutip dari laman Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Utara, tahun 1828 Kiai Mojo ditangkap dan dibuang ke Minahasa bersama 62 orang pengikutnya. Pertama kali mereka ditempatkan di Kaburukan, tepatnya di bagian selatan Kema lalu dipindahkan ke sebelah utara tepatnya di Tasik Oki. Lalu, atas permintaan Kiai Mojo dan pengikutnya sendiri, mereka pindah lagi ke daerah Kawak, tepatnya di belakang Masjid Kampung Tegal Rejo, dan pindah lagi ke sebuah kampung yang diberi nama Kampung Jawa dengan pertimbangan agar Kiai Modjo dan pengikutnya tak bisa melarikan diri.
Di tanah yang diberikan Belanda itu, Kiai Mojo membagikannya dengan penduduk pribumi yang kemudian menjadi perkampungan Wulauan dan perkampungan Marawas tahun 1897. Pada Desember 1949, Kiai Mojo wafat dan dimakamkan di Desa Wulauan, Kecamatan Tondano. Makam Kiai Mojo terletak di atas sebuah bukit bernama Tondata yang jaraknya kurang lebih 1 KM dari Ibukota Kabupaten Minahasa.