Film Pendek Karya Mahasiswa UNY Soroti Ketimpangan Pendidikan

- Film pendek mengangkat ketimpangan dalam dunia sekolah
- Tantangan produksi dan harapan untuk menginspirasi
- Ulasan penonton: cerita mengena, eksekusi perlu dimatangkan
Ketimpangan akses pendidikan di Indonesia menjadi isu yang tak pernah habis diperbincangkan. Hal ini pula yang coba diangkat secara kreatif oleh mahasiswa Prodi Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) lewat film pendek berjudul Riot of Truth (2025). Film ini tayang dalam gelaran Media Expo #3 sebagai bagian dari pembelajaran inovatif di lingkungan kampus.
Lewat cerita yang dekat dengan realitas siswa SMA, Riot of Truth menjadi medium kritik sosial yang menggugah. Mengangkat latar sekolah dan isu seperti sistem seleksi yang tidak adil serta penyalahgunaan kekuasaan, film ini mengajak penonton muda untuk berpikir kritis terhadap realitas yang selama ini dianggap “biasa”.
1. Mengangkat realitas ketimpangan dalam dunia sekolah

Film ini mengisahkan dua siswa SMA, Rea dan Aksa, yang merasa kecewa dengan sistem pendidikan yang mereka alami. Kekecewaan itu muncul dari ketimpangan perlakuan, hingga praktik jual beli kunci jawaban yang membuat mereka merasa tidak punya tempat untuk berjuang secara jujur. Cerita ini mencerminkan keresahan sosial yang masih sering ditemukan di lingkungan sekolah.
Donya Gabriella, mahasiswa UNY sekaligus sutradara film ini, menjelaskan bahwa tema awal yang mereka pilih adalah gejala sosial, khususnya penyalahgunaan kekuasaan. Menurutnya, latar belakang dunia sekolah dipilih karena sangat dekat dengan kehidupan remaja dan bisa menyampaikan pesan dengan lebih relevan. “Awalnya kita sepakat untuk mengangkat tema gejala sosial. Di dalamnya, kami fokus pada isu penyalahgunaan kekuasaan yang kerap terjadi di lingkungan sekolah,” ujarnya sebagaimana dilansir laman resmi UNY.
Dengan pendekatan narasi yang sederhana dan mudah dipahami, film ini menyisipkan kritik yang cukup tajam terhadap sistem yang timpang. Penonton dari kalangan pelajar bisa meresapi bahwa ketidakadilan yang terjadi di sekolah bukanlah hal yang wajar, melainkan sesuatu yang harus dikritisi.
2. Tantangan produksi dan harapan untuk menginspirasi

Donya mengaku sempat merasa ragu untuk mengambil peran sebagai sutradara karena karakter dirinya yang perfeksionis dan idealis. Selain itu, tantangan lain datang dari partisipasi rekan sekelas yang kurang aktif, membuat proses produksi memakan waktu lebih dari dua minggu. Meski demikian, hasil akhir film ini tetap membanggakan dan berhasil mengeksekusi ide dengan baik.
Dengan durasi 29 menit, tim produksi berupaya menyampaikan pesan sosial secara padat dan menyentuh. Film ini juga tak hanya menjadi tugas perkuliahan, tapi juga bentuk kontribusi mahasiswa untuk menyuarakan isu sosial lewat media. Donya berharap karya ini bisa menginspirasi pelajar untuk tidak hanya menonton, tapi juga mulai bersikap kritis terhadap ketidakadilan yang mereka temui.
“Lewat film pendek ini, saya berharap mereka nggak cuma ngerti isi ceritanya, tapi juga mulai melihat gejala sosial dengan kacamata sosiologi dan meresponnya secara kritis,” jelas Donya.
3. Ulasan penonton: cerita mengena, eksekusi perlu dimatangkan

Secara keseluruhan, Riot of Truth tampil cukup menghibur dengan pesan yang kuat. Gagasan utama film ini berhasil tersampaikan dengan jelas dan emosional, terutama melalui alur cerita yang dekat dengan kehidupan pelajar. Unsur komedi yang diselipkan juga terasa pas, memberi jeda di tengah narasi yang cukup serius.
Dari sisi teknis, masih terdapat beberapa kekurangan minor seperti alur yang sedikit terburu-buru dan ekspresi akting yang belum sepenuhnya natural di beberapa adegan. Namun, hal ini tertutupi oleh kekuatan naskah dan pemilihan musik latar yang mendukung emosi cerita. Visual dan audio pun secara umum konsisten dan mampu menghidupkan suasana.
Sebagai karya mahasiswa, film ini memiliki potensi besar jika terus diasah. Dengan pengembangan lebih lanjut, Riot of Truth bisa menjadi contoh bagaimana karya visual dapat menjadi sarana edukasi dan kritik sosial yang efektif.
Media Expo #3 di UNY menjadi wadah penting bagi mahasiswa untuk menyampaikan keresahan sosial lewat karya yang kreatif. Melalui film pendek seperti Riot of Truth (2025), mahasiswa tidak hanya mengasah kemampuan teknis dan artistik, tetapi juga belajar menjadi bagian dari agen perubahan sosial.
Semangat untuk mengkritisi ketimpangan lewat medium yang dekat dengan generasi muda patut diapresiasi. Film ini tak hanya menjadi tontonan, tapi juga ajakan untuk berpikir lebih dalam tentang bagaimana sistem pendidikan seharusnya memberi ruang yang adil bagi semua siswa.