Kiai Mojo, Ulama dan Tokoh Spiritual Pangeran Diponegoro

Kiai Mojo adalah kakek buyut Duta Sheila on 7, lho!

Ada banyak tokoh penting yang hadir kala memperebutkan kemerdekaan Indonesia dari zaman penjajah, termasuk tokoh daerah yang lantas kehidupannya berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain. Salah satunya adalah Kiai Madja atau Kiai Mojo yang merupakan seorang pejuang sekaligus tokoh agama kelahiran Surakarta dan wafat di Tondano, Sulawesi Selatan.

Kiai Mojo juga merupakan orang kepercayaan Pangeran Diponegoro dan dekat dengan keluarga Keraton Kasultanan Yogyakarta. Beliau memiliki jasa yang besar hingga namanya digunakan sebagai nama salah satu ruas jalan di Jogja. Berikut adalah profil dan sejarah Kiai Mojo yang menarik untuk diketahui.

1. Asal-usul dan keluarga Kiai Modjo

Kiai Mojo, Ulama dan Tokoh Spiritual Pangeran DiponegoroIlustrasi Kiai Mojo (cornell.edu)

Menurut laman Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Kiai Mojo diperkirakan lahir sekitar tahun 1792 di Surakarta, yang bernama asli Muslim Mochammad Khalifah. Ayah beliau yang bernama Iman Abdul Arif, seorang ulama terkenal yang bertempat di dusun Baderan dan Modjo, dekat Pajang di mana tanah yang ditempatinya adalah pradikan atau tanah pemberian Raja Surakarta.

Sementara sang ibu, R.A Mursilah, adalah saudara perempuan dari Sri Sultan Hamengku Buwono III. Dengan begitu, Kiai Mojo masih memiliki hubungan darah dengan Pangeran Diponegoro lewat sang ibu yang jika dirunut secara silsilah, adalah kemenakan Pangeran Diponegoro. Meski begitu, Kiai Mojo tak dibesarkan di luar keraton walau ibunya adalah seorang ningrat.

Kiai Mojo memiliki beberapa orang saudara, yakni Kiai Baderan, Kiai Hasan Mochammad dan Kiai Hasan Besari.

2. Perjalanan Dakwah Islam dan kedekatan dengan Pangeran Diponegoro

Kiai Mojo, Ulama dan Tokoh Spiritual Pangeran DiponegoroPangeran Diponegoro,Tokoh Perlawanan Perang Diponegoro. (ikpni.or.id)

Ilmu agama Kiai Mojo berasal dari sang ayah yang seorang ulama besar. Beliau pun telah menunaikan ibadah haji dan sempat bertempat di Mekah selama beberapa waktu.

Sepeninggal sang ayah, Kiai Mojo melanjutkan tugas ayahnya sebagai guru agama sekaligus memimpin sebuah pesantren di kawasan Modjo. Dalam pesantren tersebut, banyak keturunan Keraton Solo yang belajar di sana. Seiring berjalannya waktu, nama Kiai Mojo lebih dikenal dibanding nama aslinya, Muslim Mochammad Khalifah.

Mengutip laman Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, keulamaan dan masih adanya pertalian darah membuat Pangeran Diponegoro memilih Kiai Mojo sebagai guru spiritual sekaligus panglima perangnya. Kiai Mojo sendiri kemudian menikah dengan R.A Mangkubumi, seorang janda cerai Pangeran Mangkubumi yang juga paman Pangeran Diponegoro, hingga membuatnya kemudian dipanggil 'paman' oleh Pangeran Diponegoro.

Baca Juga: Ibu Ruswo, Pahlawan dari Balik Dapur Umum Era Penjajahan

3. Keikutsertaan dalam Perang Jawa dan pengasingan

Kiai Mojo, Ulama dan Tokoh Spiritual Pangeran DiponegoroIlustrasi Makam Kiai Modjo (kebudayaan.kemdikbud.go.id)

Mengutip dari laman Direktorat SMP Kemendikbud, pecahnya Perang Jawa yang dikobarkan oleh Pangeran Diponegoro karena Belanda yang mulai ikut campur perihal urusan Keraton Kasultanan Yogyakarta. Ditambah lagi sejak tahun 1821 petani lokal menderita karena penyewaan tanah oleh warga Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman yang sewenang-wenang.

Peran Kiai Mojo sangat penting dalam perang yang berlangsung pada tahun 1825-1830 tersebut. Berulang kali pemerintah Belanda menawarkan perdamaian dan menjanjikan kedudukan asal Kiai Mojo bersedia mengikuti mereka. Namun tentu saja hal ini ditolak mentah-mentah olehnya.

Mengutip dari laman Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Utara, tahun 1828 Kiai Mojo ditangkap dan dibuang ke Minahasa bersama 62 orang pengikutnya. Pertama kali mereka ditempatkan di Kaburukan, tepatnya di bagian selatan Kema lalu dipindahkan ke sebelah utara tepatnya di Tasik Oki. Lalu, atas permintaan Kiai Mojo dan pengikutnya sendiri, mereka pindah lagi ke daerah Kawak, tepatnya di belakang Masjid Kampung Tegal Rejo, dan pindah lagi ke sebuah kampung yang diberi nama Kampung Jawa dengan pertimbangan agar Kiai Modjo dan pengikutnya tak bisa melarikan diri.

Di tanah yang diberikan Belanda itu, Kiai Mojo membagikannya dengan penduduk pribumi yang kemudian menjadi perkampungan Wulauan dan perkampungan Marawas tahun 1897. Pada Desember 1949, Kiai Mojo wafat dan dimakamkan di Desa Wulauan, Kecamatan Tondano. Makam Kiai Mojo terletak di atas sebuah bukit bernama Tondata yang jaraknya kurang lebih 1 KM dari Ibukota Kabupaten Minahasa.

Baca Juga: Kisah Hidup Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Pangeran dalam Republik

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya