Cerita Anak Rantau Alami Culture Shock di Jogja

Yogyakarta, IDN Times - Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar. Setidaknya, setiap tahun ada ribuan pelajar, mahasiswa, dan pekerja yang datang ke Kota Jogja dari berbagai daerah di Indonesia. Kehadiran para perantau ini tentunya menambah warna baru yang juga membuat geliat kehidupan di Jogja semakin kaya.
Romantisasi Jogja soal gaya hidup murah, angkringan, dan masyarakatnya yang ramah adalah magnet mengapa banyak orang mau menjajal hidup di sini. Tiga perantau yang diwawancarai IDN Times berikut, mengungkapkan pengalaman culture shock atau gegar budaya yang dialaminya ketika merantau di Jogja.
1. Nada bicara yang lemah lembut khas warga lokal, bikin pendatang nyaman
Aulia Azhari, perantau asal Lombok, NTB, mengatakan bahwa awalnya ia merasa kesusahan saat merantau.
“Waktu awal kuliah diantar (keluarga), tapi gak lama kan pulang. Sedih karena di kota orang sendirian,” katanya pada Selasa (30/08/2022) lalu.
Perempuan berkacamata tersebut hijrah ke Jogja pada 2015 dalam rangka mengenyam pendidikan strata satu di salah satu perguruan tinggi swasta sampai tahun 2018. Kini, ia tengah disibukkan dengan pendidikan strata dua di kota asalnya.
Walau sempat bingung dengan siapa ia akan hidup di Kota Jogja, ia mengaku tak butuh waktu lama untuk beradaptasi dan menyukai kota rantaunya, terlebih karena cara bicara masyarakat lokal yang lembut.
“Orang Lombok ‘kan nada bicaranya agak tinggi, sedangkan orang Jogja lembut. Karena itu, aku sering dikira marah padahal gak begitu,” ungkapnya.
Hal senada juga dirasakan Yaniar, salah satu mahasiswa S2 di salah satu perguruan tinggi swasta Kota Jogja. Ia yang berasal dari Papua merasa kaget saat merasakan perbedaan antara cara bicara orang di daerahnya dengan warga lokal.
“Soal keramahan mungkin sama-sama ya, di Papua juga ramah, tapi di sini lembut bicaranya. Di daerah asal sih kalau sama teman nada bicaranya jadi tinggi,” tuturnya pada Kamis (01/09/2022).