Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Potret Bethak dan Pisowanan Garebeg Mulud Dal (kratonjogja.id)
Potret Bethak dan Pisowanan Garebeg Mulud Dal (kratonjogja.id)

Intinya sih...

  • Upacara Bethak Keraton Jogja dilaksanakan setiap delapan tahun sekali

  • Pada upacara Bethak, nasi dimasak oleh para Putri Dalem dan Sentana Dalem

  • Upacara Pisowanan Garebeg Mulud Dal melibatkan perangkat gamelan dan pengepalan nasi oleh Sultan dan kerabatnya

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Setiap delapan tahun sekali, Keraton Yogyakarta mengadakan upacara adat yang disebut Bethak dan Pisowanan Garebeg Mulud Dal. Dal sendiri merupakan nama salah satu tahun dari siklus delapan tahunan (windu) pada sistem penanggalan Jawa. Lalu, apa itu upacara Bethak dan Pisowanan Garebeg Mulud Dal?

Diadakan pada Jumat (5/9/2025) ini secara tertutup, berikut prosesi jalannya upacara tersebut yang perlu kamu tahu. Laiknya tradisi Jawa lain yang penuh makna, menarik buat diketahui, lho.

1. Upacara Bethak Keraton Jogja

Potret Bethak dan Pisowanan Garebeg Mulud Dal (kratonjogja.id)

Bethak dalam bahasa Jawa artinya adalah memasak nasi. Prosesi ini biasanya dilaksanakan mulai petang hari pada 12 Mulud Tahun Dal yang bertempat di kompleks Keputren, tepatnya di Bangsal Sekar Kedhaton.

Dikutip dari laman kratonjogja.id, sebelum upacara diadakan, para Putri Dalem atau putri Sultan, Wayah Dalem Putri atau cucu perempuan Sultan, Sentana Dalem Putri atau yang dikenal sebagai kerabat perempuan Sultan, serta petinggi Keputren akan berkumpul di Bangsal Sekar Kedhaton. Upacara dimulai ditandai dengan kedatangan Sri Sultan. Beliau miyos atau hadir untuk menyerahkan pusaka Kanjeng Nyai Mrica yang merupakan pusaka berupa kendhil atau periuk yang terbuat dari logam dan Kanjeng Kiai Blawong yang tak lain adalah dua buah pusaka berwujud piring keramik berukuran besar, dan keduanya diambil dari Gedhong Prabayeksa.

Kanjeng Nyao Mrica lantas diserahkan kepada Prameswari Dalem atau Permaisuri Sultan dan Kanjeng Kiai Blawong diletakkan di sebuah meja di sayap barat Bangsal Sekar Kedhaton. Prameswari Dalem akan dibantu oleh Abdi Dalem Keparak untuk menanak nasi menggunakan Kanjeng Nyai Mrica. Nah, Kanjeng Nyai Mrica akan diletakkan di atas tungku tanah liat berbahan bakar kayu. Kemudian Abdi Dalem Keparak membantu Prameswari Dalem membuat api dan mencuci beras, akan mengenakan ubet-ubet dari kain mori putih dan udet berwarna merah. Pakaian ini adalah penanda bahwa mereka adalah Abdi Dalem yang telah luwas atau menopause.

Selanjutnya, nasi yang sudah matang akan diletakkan pada piring-piring besar atau yang disebut blawong. Nasi tadi dikepal-kepal secara manual dengan tangan hingga berbentuk seperti bola oleh para Wayah Dalem dan Sentana Dalem yang hadir. Bola nasi atau yang disebit sega golong tersebut dibentuk dengan ukuran sebesar bola ping pong.

Pada malam tersebut, Kanjeng Nyai Mrica akan digunakan sebanyal enam kali untuk menanak. Dan ketika dini hari, Bethak kembali dilakukan untuk yang ketujuh kalinya dan khusus dilakukan oleh Putri Dalem tertua. Nasi yang sudah matang nantinya diserahkan kepada Sultan saat Pisowanan Garebeg. Oh iya, tak cuma Kanjeng Nyai Mrica, kendhil yang digunakan di Keraton. Kendhil lain yang digunakan untuk menanak nasi, masing dijaga oleh saudara perempuan Sultan.

2. Upacara Pisowanan Garebeg Mulud Dal

Potret Bethak dan Pisowanan Garebeg Mulud Dal (kratonjogja.id)

Sejak pagi, akan ada tiga perangkat gamelan yang dimainkan secara bergantian di Plataran Kedhaton Keraton Yogyakarta. Ketiga perangkat tersebut adalah Kanjeng Kiai Guntur Laut (Monggang), Kanjeng Kiai Surak, dan Kanjeng Kiai Kancil Belik. Para Abdi Dalem Sipat Bupati akan hadir dan duduk bersila di kedua Bangsal Kotak yang terletak di Plataran Kedhaton, tepat di depan Bangsal Kencana.

Menjelang tengah hari, akan dibunyikan suara “Raaaussss,” di mana suara yang menandai kehadiran Sri Sultan, yang keluar dari arah Bangsal Prabayeksa. Gendhing Monggang lantas dimainkan untuk mengiringi kemunculan Sultan menuju Bangsal Kencana. Baru setelah itu, Abdi Dalem tadi yang sebelumnya menanti di Bangsal Kotak, dipersilakan maju untuk menempati kursi di tratag Bangsal Kencana. Nah, yang akan berada di sisi kanan dan kiri Sultan, mereka adalah para Sentana Dalem serta tamu-tamu kehormatan di mana semuanya menghadap ke arah beliau.

Kemudian akan ada iring-iringan membawa pusaka Kanjeng Nyai Mrica dan Kanjeng Kiai Blawong. Kedua pusaka kemudian dipegang dan diposisikan di hadapan Sultan yang kemudian beliau akan ngeduk atau mengambil nasi di dalam Kanjeng Nyai Mrica dan menaruhnya di Kanjeng Kiai Blawong. Sultan akan mulai mengepal nasi yang ada di Kanjeng Kiai Blawong, lalu kegiatan tersebut diteruskan oleh Putra dan Mantu Dalem.

Tidak lama, Abdi Dalem Keparak dan Abdi Dalem Kanca Sewidak datang membawa minuman dan nasi yang sudah dikepal sebelumnya. Setelah selesai, Sultan akan memerintahkan Abdi Dalem untuk kembali. Dan, ketiga gamelan dimainkan bersamaan hingga akhir gendhing sebagai penanda selesainya Pisowanan Garebeg Mulud Dal.

Ada makna mendalam di balik upacara Bethak dan Pisowanan Garebeg Mulud Dal. Perlu diketahui bahwa salah satu kebudayaan Mataram Islam adalah bercorak agraria. Sedangkan nasi, dianggap sebagai simbol atas kemakmuran dan kesejahteraan.

Nasi yang ditanak, lalu dikepal sehingga berbentuk golong atau bulat, adalah manifestasi atas konsep golong gilig yang artinya tekad untuk bekerja demi meraih kesejahteraan dan kemakmuran.

3. Momen keluarnya Gunungan Brama

Gunungan Bromo. (Dok. Istimewa)

Nah, saat Garebeg Maulud Tahun Dal akan dikeluarkan sebuah gunungan yang hanya akan ditampilkan saat itu saja. Namanya adalah Gunungan Brama atau Kutug yang bentuknya menyerupai silinder, tegak dengan bagian tengah agak mengecil. Isinya adalah ole-ole ,rengginang, kucu, dan upil-upil lalu rangkainya terbuat dari bambu dan badannya ditutup dengan pelepah pisang.

Sedangkan bagian atasnya akan dihias dengan bendera berbentuk segitiga berwarna merah, dan gunungan dihias dengan ole-ole yang dirangkai mirip jala. Di puncak Gunungan Brama memiliki lubang untuk menempatkan anglo atau tungku kecil dari tanah liat untuk diisi arang yang digunakan untuk membakar kemenyan, sehingga tampak terus-menerus mengepulkan asap. 

Uniknya, Gunungan Brama tidak diarak atau dipertontonkan ke masyarakat, melainkan hanya dipublikasikan kepada keluarga sultan saja.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team