Batu Gajah dan Beringin Putih, Mitos Penjaga Alam Merapi

- Mitos Batu Gajah dan Beringin Putih di Desa Kepuharjo, Cangkringan, Sleman
- Pohon beringin dan batu gajah diyakini memiliki nilai mistis oleh masyarakat setempat
- Larangan memindahkan batu dan menebang pohon sebagai bentuk kearifan lokal untuk kelestarian alam
Tepatnya di Desa Kepuharjo, Dusun Kaliadem, Cangkringan, Sleman, ada sebuah mitos yang akrab di kehidupan masyarakat setempat. Batu Gajah dan Beringin Putih, dua hal terkait alam yang diyakini punya daya mistis dan jadi bagian dari harmoni antara manusia dengan Gunung Merapi.
Cerita masa lalu yang sekarang membentuk norma sosial masyarakat lereng Merapi. Bagaimana asal mulanya, dan mengapa ada larangan memindahkan batu serta menebang pohon di wilayah tersebut? Mari, telusuri lebih lanjut dalam kisah di balik mitos Batu Gajah dan Beringin Putih.
1.Dua elemen dalam mitos ini sebagai simbol masyarakat lereng Merapi

Pohon beringin itu berwarna hijau, lantas kenapa dalam mitos disebut warnanya putih? Ternyata ini adalah simbol masyarakat setempat. Selayaknya sebagai tumbuhan, pohon beringin sangat kokoh. Ini mencerminkan keteguhan warga lereng Merapi yang tetap tulus bertahan dan menyatu dengan lingkungan sekitar.
Tak jauh dari pohon beringin, sekitar 20 meter di bawahnya, ada sebuah batu besar yang dikenal dengan nama Batu Gajah. Batu ini warnaya hitam pekat dengan ukuran cukup besar, lokasinya ada di tengah desa. Masyakarat menamai Batu Gajah karena bentuknya mirip induk gajah yang sedang berbaring dengan posisi miring, lalu ada anaknya yang masih kecil berada di antara kaki induknya.
Dua elemen dianggap memiliki nilai mistis oleh masyarakat. Pohon beringin tak mudah lapuk meski diterjang lahar, demikian dengan masyarakat sekitar yang gak mudah disingkirkan dari tanah kelahiran mereka. Begitu pula dengan batu yang berat dan besar, sulit dipindahkan bagaikan keteguhan hati warga Merapi.
2.Cerita tentang mitos yang berkembang

Jauh sebelum berdirinya candi, ada sekelompok dari negeri jauh datang dengan niat menguasai desa. Mereka datang naik gajah dan mengarah ke puncak gunung. Tentu masyarakat pun khawatir kalau mereka tergusur.
Namun, penduduk desa masa lalu berjuang untuk melawan dengan senjata yang mereka punya yaitu, mantra sakti. Kata-kata yang diyakini berefek pada targetnya.
Dengan mantra tersebut, akhirnya penduduk berhasil mengalahkan pasukan yang datang menyerang. Namun, ada seekor gajah yang berhasil kabur, tetapi warga sekitar berhasil menemukannya lagi dalam kondisi sudah jadi batu. Semenjak itulah disebut Batu Gajah.
Batu Gajah juga ada kaitannya dengan peristiwa erupsi Gunung Merapi. Dikisahkan, lahar yang pertama kali turun dari gunung itu mengalir ke selatan dan membuka aliran Kali Gunung Anyar. Momen terseut sekaligus membawa batu-batu besar turun mengikuti arus aliran lahar, tetapi akhirnya berhenti karena konon menghindari wanita hamil.
Sampai saat ini, gak ada yang berani mengusik, entah memindahkan batu ke tempat lain maupun menebang pohon-pohon. Mitos ini sudah menjadi kearifan lokal yang mengajarkan bersikap dan bertindak agar harmoni dengan semuanya.
3.Mitos ini bagian dari upaya pelestarian lingkungan

Bukan sebagai lelucon konyol ketika maksud dari Batu Gajah dan Beringin Putih muncul sebuah larangan. Larangan agar tidak memindahkan batu maupun menebang pohon. Minsarwati dalam bukunya Mitos Merapi dan Kearifan Ekologi menjelaskan bahwa larangan tersebut sebagai bentuk kearifan lokal yang diwariskan demi kelestarian alam.
Nah, ketika di pandang dari sudut berbeda menggunakan ilmu geologi, keberadaan Batu Gajah sebenarnya bukan perubahan binatang gajah menjadi batu seperti yang ada dalam cerita rakyat tersebut. Batu ini adalah produk dari letusan Gunung Merapi yang terpental jauh ketika erupsi disebut Andesit.
Begitu pula dengan pohon beringin putih yang dianggap aneh kenapa bisa tumbuh di ketinggian pegunungan sehingga diyakini gaib. Padahal semestinya tumbuhan jenis itu butuh ruang luas untuk tumbuh subur. Kedua elemen ini menjadi sesuatu yang membantu kehidupan sekitar lereng Merapi bertahan, karena batu gajah dan pohon beringin putih bisa mencegah lahar yang keluar, dan menahan erosi.
Seperti yang dipaparkan oleh Suwardi Endraswara dalam buku Falsafah Hidup Jawa, masing-masing tempat punya etikanya. Etika sosial biasanya berbentuk anjuran dan larangan untuk manusia bersikap hingga bertindak. Ini tercermin dalam makna mitos Batu Gajah dan Beringin Putih, di mana menghasilkan larangan memindahkan batu dan menebang pohon.
Keduanya mengandung pesan agar manusia beretika baik terhadap Tuhan, sesama, dan lingkungan sekitarnya untuk dapat bertahan dan selamat. Pada akhirnya, larangan tersebut pun jadi pelajaran berharga untuk menjaga ekosistem lingkungan. Bersikap baik dan menjaga sehingga ada keseimbangan alam yang mampu memperpanjang kehidupan.