Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi mahasiswa sedang belajar (pexels.com/Jeswin Thomas)
ilustrasi mahasiswa sedang belajar (pexels.com/Jeswin Thomas)

Intinya sih...

  • Fenomena duck syndrome sering terjadi di kalangan mahasiswa

  • Peran media sosial dalam memperkuat tekanan dan perfeksionisme tinggi

  • Langkah mengatasi: jujur pada diri sendiri, mengelola ekspektasi, dan belajar mengatakan tidak demi menjaga kesehatan mental

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Yogyakarta, IDN Times – Penampilan luar seseorang kerap menipu. Mahasiswa yang tampak tenang dan penuh semangat bisa saja sedang berjuang keras menghadapi tekanan mental dan emosional. Fenomena ini dikenal sebagai duck syndrome, di mana seseorang terlihat anggun di permukaan layaknya bebek yang mengapung, namun di bawah air tengah mengayuh panik untuk bertahan.

Fenomena duck syndrome semakin sering ditemukan di kalangan mahasiswa. Banyak yang berusaha tampil serba bisa dan produktif, namun merasa lelah dan kewalahan. Sayangnya, tidak semua mengetahui cara tepat untuk mengatasinya.

1. Fenomena yang sering tak terlihat di kalangan mahasiswa

ilustrasi mahasiswa baru (pexels.com/Tima Miroshnichenko)

Anisa Yuliandri, Psikolog dari Career and Student Development Unit (CSDU) Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada (UGM), menjelaskan bahwa istilah duck syndrome pertama kali digunakan untuk menggambarkan mahasiswa Stanford University yang terlihat tenang namun sebenarnya berada di bawah tekanan.

“Banyak mahasiswa merasa harus ambil semua kesempatan karena takut tertinggal. Takut kalau tidak ikut ini-itu nanti dibilang malas, tidak kompetitif, tidak punya masa depan,” katanya, Senin (11/8/2025) dilansir laman resmi UGM.

Menurut Anisa, fenomena ini berkaitan erat dengan Self-Determination Theory, yang menyebut manusia memiliki tiga kebutuhan psikologis dasar: rasa kendali (autonomy), rasa mampu (competence), dan rasa terhubung (relatedness). Tekanan eksternal yang mengabaikan keinginan pribadi dapat mengganggu keseimbangan psikologis.

2. Peran media sosial dalam memperkuat tekanan

ilustrasi burnout (unsplash.com/Rendy Novantino)

Budaya untuk selalu terlihat “baik-baik saja” membuat mahasiswa sering menekan emosi yang mereka rasakan. Perfeksionisme tinggi mendorong banyak orang menutupi kelemahan dan kesulitan. “Padahal kita ini manusia biasa, punya batas. Tapi karena ingin mempertahankan citra sempurna, akhirnya semua dipendam sendiri,” jelasnya.

Anisa menilai media sosial turut memperkuat tekanan ini. Beranda yang dipenuhi pencapaian orang lain, seperti kemenangan lomba, magang, atau kelulusan cepat, bisa memicu rasa tertinggal. “Dalam usaha untuk tidak kalah bersinar, mahasiswa sering kali memaksakan diri untuk terlihat produktif. Ini sesuai dengan Impression Management Theory. Seseorang cenderung mengatur dan mengendalikan citra diri agar terlihat kuat dan mampu, meski di balik layar sesungguhnya ia sedang sangat lelah,” ujarnya.

3. Langkah mengatasi: jujur pada diri sendiri dan mau bercerita

ilustrasi mahasiswa baru (pexels.com/Charlotte May)

Fenomena ini berbahaya karena sifatnya yang tak kasat mata. Kondisi yang dibiarkan dapat berkembang menjadi kecemasan kronis, insomnia, burnout, bahkan depresi. Gejala juga dapat memengaruhi hubungan sosial hingga membuat mahasiswa menarik diri. “Ada perasaan takut dihakimi atau dianggap gagal, padahal sebetulnya yang dibutuhkan hanya ruang untuk didengar,” jelasnya.

Anisa menyarankan mahasiswa mengenali gejala duck syndrome dan mengambil langkah kecil untuk mengatasinya. “Sikap jujur ini merupakan bentuk keberanian. It’s okay to not be okay. Kita tidak harus selalu produktif atau terlihat bahagia. Menerima semua, dan mengizinkan diri merasa sedih adalah bagian dari pemulihan,” tuturnya.

Ia menambahkan pentingnya mengelola ekspektasi dan belajar mengatakan tidak demi menjaga kesehatan mental. “Belajar mengatakan tidak tanpa rasa bersalah adalah keterampilan penting,” tambahnya.

Anisa menekankan pentingnya keberanian untuk bercerita, bahkan kepada satu orang saja, karena itu bisa sangat melegakan. FEB UGM melalui CSDU menyediakan layanan konseling gratis dan Program Peer Support, yaitu pendampingan oleh teman sebaya yang telah dilatih menjadi pendengar yang aman dan suportif.

“Tidak perlu lagi kita berpura-pura kuat. Jika hari ini yang bisa kita perbuat atau lakukan hanyalah bertahan maka itu sudah cukup. Bertahan adalah bentuk keberanian,” tutup Anisa.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team