Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
tetenger atau tanda sejarah Yogya Kembali di Jalan Malioboro
tetenger atau tanda sejarah Yogya Kembali di Jalan Malioboro (IDN Times/Dyar Ayu)

Intinya sih...

  • Peristiwa Yogya Kembali terjadi setelah Belanda menyerang Yogyakarta pada 29 Juni 1949, di mana Indonesia berhasil mempertahankan kedaulatannya.

  • Perjanjian Roem Royen menjadi landasan peristiwa Yogya Kembali, di mana Indonesia bersedia menghentikan perang gerilya dan bekerja sama dalam Konferensi Meja Bundar.

  • Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengumumkan proklamasi kedua pada 30 Juni 1949 untuk menguatkan proklamasi pertama Soekarno dan Hatta.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Di Jalan Ringroad Utara, Kapanewon Ngaglik, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), terdapat sebuah bangunan yang bernama Monumen Yogya Kembali atau yang disebut dengan Monjali. Monumen ini dibangun dalam rangka memperingati berfungsinya kembali Kota Yogyakarta sebagai Ibu Kota Republik Indonesia yang direbut dari penjajah Belanda.

Kejadian berdarah ini telah terjadi pada tanggal 29 Juni 1949 dan disebut dengan peristiwa Yogya Kembali. Momen kelam yang sayangnya, tak banyak diketahui masyarakat masa kini. Kalau kamu salah satu yang belum paham mengenai sejarah Yogya Kembali, berikut ini alur yang perlu kamu ketahui.

1. Latar belakang terjadinya peristiwa Yogya Kembali

Agresi Militer Belanda (Wereldmuseum Amsterdam /C.J. (Cees) Taillie)

Indonesia menyatakan kemerdekaannya lewat proklamasi yang dilakukan oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945. Sayangnya, pernyataan ini tak serta membuat Indonesia benar-benar bersih dari penjajah. Tiga tahun pasca proklamasi, Belanda masih berusaha mengambil kembali Indonesia lewat agresi militer Belanda II.

Hal ini berawal dari Belanda yang menuduh Indonesia melakukan pelanggaran Perjanjian Renville dengan menyebarkan propaganda dan bersekutu dengan Uni Soviet. Alhasil, sekutu kembali menyerang Indonesia pada 19 Desember 1948, di mana sebuah bom diledakkan di kawasan Wonocatur dan Maguwo, Yogyakarta pada pagi hari. Sebagaimana diketahui, pada saat itu Yogyakarta adalah ibukota pertama Indonesia yang telah ditetapkan sejak 1946.

Tentara Nasional Indonesia (TNI) tak diam saja, mereka sebisa mungkin mempertahankan ibukota dari serangan Belanda. Sayangnya, tepat pukul 14.00 WIB, penjajah berhasil masuk wilayah Jogja. Kabar mengenai serangan Belanda secara de facto ini disiarkan sampai ke luar negeri, hingga Amerika Serikat dan Persatuan Bangsa-Bangsa mendesak adanya gencatan senjata dan melakukan perundingan damai.

2. Isi dari perjanjian Roem Royen

Momen perjanjian Roem Royen (commons.wikimedia.org/Rijksmuseum)

Sejarah Yogya Kembali terwujud atas sebuah perjanjian yang disebut Roem Royen. Perjanjian ini dilaksanakan mulai 14 April 1949 sampai 7 Mei 1949, yang dilakukan di Hotel Des Indes, Jakarta. Pada saat itu, delegasi Indonesia diwakilkan oleh Mohammad Roem dan dari Belanda yaitu Herman Van Royen.

Perjanjian Roem Royen juga berhasil dilakukan berkat adanya keberhasilan Indonesia atas Serangan Umum 1 Maret 1949 di mana TNI secara tiba-tiba menyerang Belanda saat mereka dalam keadaan tidak siap. Dalam pertempuran tersebut, Yogyakarta berhasil direbut selama waktu enam jam. Kendati, Belanda menguasai kembali karena datangnya bantuan dari Magelang dan Surakarta.

Meski hanya beberapa jam, Serangan Umum 1 Maret memiliki peran dan efek besar. Ini adalah tanda Indonesia belum 'selesai' dan mengupayakan kedaulatan mereka.

Pasca serangan ini, Belanda ingin kembali menyerang Indonesia. Namun dunia internasional terus mendesak Belanda dan Indonesia untuk menyelenggarakan perundingan perdamaian. Hingga akhirnya, keluarlah Perjanjian Roem Royen di mana Indonesia bersedia memenuhi tiga hal, yaitu:

  • Pertama, mengeluarkan perintah kepada pengikut Republik Indonesia yang bersenjata untuk menghentikan perang gerilya.

  • Kedua, bekerja sama mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan.

  • Ketiga, turut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, dengan tujuan mempercepat penyerahan kedaulatan Negara Indonesia Serikat tanpa syarat apapun.

Sedangkan Delegasi Belanda juga menyatakan sepakat terhadap lima butir perjanjian yang isinya:

  • Pertama, menyetujui kembalinya Pemerintahan RI ke Yogyakarta.

  • Kedua, menjamin penghentian gerakan-gerakan militer dan membebaskan semua tahanan politik.

  • Ketiga, tidak mendirikan atau mengakui negara-negara yang ada di wilayah kekuasaan RI sebelum 19 Desember 1948.

  • Keempat, menyetujui keberadaan Republik Indonesia sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat.

  • Kelima, berusaha menggelar KMB segera diadakan setelah pemerintah Republik Indonesia kembali ke Yogyakarta

Berdasar perjanjian tersebut, seluruh pasukan Belanda lantas ditarik dari Yogyakarta yang dilaksanakan pada 29 Juli 1949. Mereka diangkut menggunakan kereta api yang diberangkatkan dari Stasiun Yogyakarta.

3. Sri Sultan IX dalam proklamasi kedua

tetenger atau tanda sejarah Yogya Kembali di Jalan Malioboro (IDN Times/Dyar Ayu)

Peristiwa Yogya Kembali yang ditandai dengan perjanjian Roem Royen patut dikenang dan diketahui oleh seluruh rakyat karena ini adalah momen penting di mana Indonesia berhasil mempertahankan kedaulatannya. Selepasnya dari momen tersebut, ada langkah penting yang dilakukan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Keamanan.

Pada 30 Juni 1949, beliau mengumumkan proklamasi kedua yang menguatkan proklamasi pertama yang dilakukan oleh Soekarno dan Hatta sebelumnya. Langkah ini diambil guna tidak adanya kekosongan pemerintahan sebab baik Soekarno dan Hatta masih berada di pengasingan akibat ulah Belanda. Isi dari proklamasi tersebut adalah:

Pada hari Kamis tanggal 30 Juni 1949 kekuasaan pemerintah di seluruh Daerah Istimewa Yogyakarta kembali di tangan pemerintah Republik Indonesia, yang berkedudukan lagi di Ibu Kota Yogyakarta. Atas penetapan Paduka Yang Mulia Presiden, Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia, maka buat sementara waktu kekuasaan pemerintah republik, baik sipil maupun militer, di Daerah Istimewa Yogyakarta dipegang dan dijalankan oleh Menteri Negara Koordinator Keamanan dengan dibantu oleh segala badan pemerintahan dan alat kekuasaan serta pegawai negeri yang ada dan yang akan datang di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Segala badan dan peraturan negara Republik Indonesia yang ada sebelum hari dan tanggal pengembalian kekuasaan di tangan pemerintah Republik Indonesia, langsung berlaku selama tidak diadakan ketentuan lain.

Setelah keadaan mengizinkan, maka segera Paduka Yang Mulia Presiden, Paduka Yang Mulia Wakil Presiden serta anggota-anggota pemerintah Republik Indonesia lainnya akan kembali ke Yogyakarta.

Yogyakarta, 30 Juni 1949

Atas nama Presiden Republik Indonesia, Menteri Negara Koordinator Keamanan, Hamengku Buwono IX

Untuk mengenang dan memaknai peristiwa Yogya Kembali, kamu tak cuma bisa datang ke Monjali atau Monumen Serangan Umum 1 Maret, tapi juga dengan melihat tetenger atau tanda sejarah Yogya Kembali yang terletak di Jalan Malioboro. Tetenger ini berbentuk sebuah batu besar dari Merapi yang bertuliskan, 'Dengan jaminan tidak ada letusan senjata, Sri Sultan Hamengku Buwono IX Memutuskan, Di sinilah garis batas penarikan Tentara Belanda Dari Yogyakarta Sebagai Ibu Kota Republik Indonesia Pada Tanggal 29 Juni 1949.'

Editorial Team