Batik Larangan Keraton Yogyakarta, Tak Boleh Digunakan Sembarang Orang

Motif batik larangan hanya digunakan oleh keluarga Keraton

Sleman, IDN Times - Sebagai salah satu mahakarya Indonesia, batik memiliki beragam motif dan simbol tertentu. Walau sering digunakan sebagai pakaian sehari-hati, terdapat beberapa motif tertentu yang tidak boleh digunakan sembarangan.

Dikutip laman kratonjogja, motif batik yang dilarang digunakan masyarakat diyakini adanya kekuatan spiritual maupun makna filsafat. Motif yang ada dipercaya mampu menciptakan suasana religius serta memancarkan aura magis sesuai dengan makna yang dikandungnya. Selain itu, setiap raja yang sedang bertahta memiliki kewenangan untuk menetapkan motif batik tertentu ke dalam batik larangan.

Nah di bawah ini terdapat beberapa motif batik yang hanya diperbolehkan dipakai oleh keluarga, putra mahkota dan raja Keraton Yogyakarta

1. Batik motif Huk

Batik Larangan Keraton Yogyakarta, Tak Boleh Digunakan Sembarang Oranghttps://www.kratonjogja.id/

Motif batik yang terdiri dari kerang, binatang, tumbuhan, cakra, burung, sawat (sayap), dan garuda ini ini hanya boleh dikenakan oleh raja dan putra mahkota. Motif kerang yang terkandung di dalamnya, memiliki makna kelapangan hati sedangkan binatang menggambarkan watak sentosa dan tumbuhan melambangkan kemakmuran. Serta sawat untuk ketabahan hati.

Adapun motif ini memiliki simbol pemimpin yang berbudi luhur, berwibawa, cerdas, mampu memberi kemakmuran, serta selalu tabah dalam menjalankan pemerintahannya.

Baca Juga: Intip Yuk, Apa Saja Makanan Kesukaan Raja Keraton Yogyakarta 

2. Batik motif Kawung

Batik Larangan Keraton Yogyakarta, Tak Boleh Digunakan Sembarang Oranghttps://www.kratonjogja.id/

Selanjutnya, motif kawung juga masuk dalam batik larangan. Motif ini boleh dipakai oleh para Sentana Dalem. Adapun motif kawung ini yakni pola geometris dengan empat bentuk elips yang mengelilingi satu pusat. Bagan seperti ini dikenal dalam budaya Jawa sebagai keblat papat lima pancer. Hal ini dimaknai sebagai empat sumber tenaga alam atau empat penjuru mata angin.

Selain itu, ada juga pendapat yang mengatakan kawung menggambarkan bunga lotus atau teratai yang sedang mekar. Bunga teratai sendiri digunakan sebagai lambang kesucian.

Motif kawung juga sering diartikan sebagai biji kawung atau kolang-kaling, buah pohon enau atau aren yang sangat bermanfaat bagi manusia. Bagi yang memakai batik ini, diharapkan dapat bermanfaat bagi lingkungannya.

3. Batik motif Parang

Batik Larangan Keraton Yogyakarta, Tak Boleh Digunakan Sembarang Oranghttps://www.kratonjogja.id/

Motif parang dan variasinya menjadi batik larangan yang sangat ditekankan di Keraton Yogyakarta, terutama pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII bertahta  yaitu di tahun 1921-1939.

Aturan penggunaan batik ini tertuang dalam “Rijksblad van Djokjakarta” tahun 1927, tentang Pranatan Dalem Bab Jenenge Panganggo Keprabon Ing Keraton Nagari Yogyakarta. Menurut Rouffaer dan Joynboll, batik motif ini berasal dari pola bentuk pedang yang biasa dikenakan para kesatria dan penguasa saat berperang. Diyakini saat kesatria memakai motif ini akan memiliki kekuatan yang berlipat ganda.

Pendapat lainnya mengatakan, motif parang ini diciptakan oleh Panembahan Senapati saat mengamati gerak ombak Laut Selatan yang menerpa karang di tepi pantai. Sehingga keberadaan pola garis lengkungnya memiliki arti ombak lautan yang menjadi pusat tenaga alam. Ini diartikan sebagai kedudukan raja. Kemudian, untuk komposisi miring pada motif parang ini juga menjadi lambang kekuasaan, kebesaran, kewibawaan, dan kecepatan gerak.

Ketentuan lain berupa aturan penggunaan batik larangan nyamping atau bebet dan kampuh atau dodot. Di dalam pemakaian nyamping aturannya yakni, Parang Rusak Barong ukuran lebih dari 10 cm hingga tak terbatas hanya boleh dikenakan oleh raja dan putra mahkota. Parang Barong ukuran 10-12 cm, dipakai oleh putra mahkota, permaisuri, Kanjeng Panembahan dan istri utamanya, Kajeng Gusti Pangeran Adipati dan istri utamanya, serta putra sulung sultan dan istri utamanya, putra-putri sultan dari permaisuri, dan patih.

Selanjutnya, untuk Parang Gendreh ukuran 8 cm dipakai oleh istri sultan (ampeyan dalem), istri putra mahkota, putra-putri dari putra mahkota, Pangeran Sentana, para pangeran dan istri utamanya. Lalu, untuk Parang Klithik ukuran 4 cm ke bawah dipakai oleh putra ampeyan Dalem, dan garwa ampeyan (selir putra mahkota), cucu, buyut, canggah, dan wareng.

Pemakaian kampuh atau dodot dalam aturannya meliputi motif Parang Barong yang dikenakan oleh sultan, permaisuri dan istri utama, putra mahkota, putri sulung sultan, Kanjeng Panembahan, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati, putra sulung sultan dan istri utamanya. Untuk Kampuh Gendreh dipakai oleh putra-putri sultan dari permaisuri dan garwa ampeyan, istri (garwa ampeyan), putra-putri dari putra mahkota, Pangeran Sentono, istri utama para pangeran, dan patih. Selanjutnya, Bebet Prajuritan (kain batik untuk kelengkapan busana keprajuritan), yang boleh mengenakan sama dengan ketentuan pemakaian kampuh.  Sementara Kampuh Parang Rusak Klithik dipakai untuk istri dan garwa ampeyan putra mahkota.

4. Batik motif Semen

Batik Larangan Keraton Yogyakarta, Tak Boleh Digunakan Sembarang Oranghttps://www.kratonjogja.id/

Kemudian, motif batik lainnya yang masuk dalam larangan yakni semen. Motif ini berkonotasi semi atau tumbuh dan memiliki makna kesuburan, kemakmuran, dan alam semesta. Motif ini terdapat gambar lain berupa gunung atau meru, garuda, sayap, candi, dan naga. Pemakai motif semen diharapkan dapat menjadi pemimpin yang mampu melindungi bawahannya.

Di dalam pranatan dalem, aturan pemakaian motif semen ini yakni, untuk kampuh motif Semen Gedhe Sawat Gurdha dipakai untuk cucu sultan, istri para pangeran, penghulu, Wedana Ageng Prajurit, Bupati Nayaka Lebet, Bupati Nayaka Njawi, Bupati Patih Kadipaten, Bupati Polisi, Pengulu Landraad, Wedana Keparak Para Gusti ( Nyai Riya), Bupati Anom, serta Riya Bupati Anom. Kampuh Semen Gedhe Sawat Lar dipakai untuk buyut dan canggah sultan.

Kemudian, ada satu pengecualian dalam pemakaian motif semen, di mana motif semen tanpa lukisan meru, garuda (sawat), dan sayap (lar), boleh dipakai siapa saja tanpa harus memperhitungkan garis keturunannya.

5. Batik motif Cemukiran

Batik Larangan Keraton Yogyakarta, Tak Boleh Digunakan Sembarang Orangwww.kratonjogja.id

Motif berbentuk lidah api atau sinar ini hanya boleh dikenakan oleh raja dan putra mahkota. Api sendiri dimaknai sebagai unsur kehidupan yang melambangkan keberanian, kesaktian, dan ambisi. Untuk pola seperti sinar, diibaratkan pancaran matahari yang melambangkan kehebatan dan keagungan. Api maupun sinar dalam konsep Jawa diibaratkan sebagai mawateja atau bersinar seperti wahyu, yaitu salah satu kriteria yang harus dimiliki seorang raja.

Baca Juga: 9 Ragam Batik ala Putri Keraton Yogyakarta, Anggun!

6. Motif Udan Liris

Batik Larangan Keraton Yogyakarta, Tak Boleh Digunakan Sembarang Oranghttps://www.kratonjogja.id/

Motif batik larangan lainnya yakni, motif udan liris. Motif ini hanya boleh dikenakan oleh putra dari garwa ampeyan, wayah, buyut, canggah, Pangeran Sentana dan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom.

Adapun batik ini diartikan sebagai hujan gerimis atau hujan rintik-rintik pembawa kesuburan bagi tumbuhan dan ternak. Udan Liris merupakan gabungan dari bermacam-macam motif dalam bentuk garis-garis sejajar yang terdiri dari motif lidah api, setengah kawung, banji sawut, mlinjon, tritis, ada-ada, dan untu walang yang diatur memanjang diagonal. Dari sisi makna, motif ini adalah sebuah pengharapan agar pemakainya selamat sejahtera, tabah, dan berprakarsa dalam menunaikan kewajiban demi kepentingan nusa dan bangsa.

Nah itulah beberapa motif batik yang seharusnya hanya boleh digunakan oleh keluarga hingga permaisuri dan raja Keraton Yogyakarta. 

Topik:

  • Febriana Sintasari

Berita Terkini Lainnya