Sekretaris Dinas Pariwisata Ponorogo Bambang Wibisono di Bentara Budaya Yogyakarta, 21 Desember 2019. IDN Times/Pito Agustin Rudiana
Untuk nguri-uri atau melestarikan kesenian reog, Sekretaris Dinas Pariwisata Ponorogo Bambang Wibisono menjelaskan, tiap bulan purnama digelar pentas reog di panggung utama Alun-alun Ponorogo. Kemudian setiap desa harus menggelar atraksi reog tanggal 11 di desa masing-masing dari pukul 15.00-17.00.
“Karena sifatnya pembinaan, penampilnya kebanyakan anak-anak,” kata Bambang.
Perhelatan lain adalah Festival Reog Anak untuk siswa SD dan SMP setiap tahun dan yang digelar setiap Gerebeg Suro yang tahun ini memasuki perhelatan ke-27 kali. Tak heran, jumlah kelompok reog di Ponorogo menjamur hingga 315 kelompok.
Bagi Sudirman, ia berharap reog menjadi kesenian tradisi yang menasional. Tak hanya di Ponorogo, tapi juga dimainkan di setiap daerah. Seperti ketika gelaran di bulan Suro, banyak kelompok reog dari luar Ponorogo menginap di rumahnya. Ada yang dari Gunungkidul, Magelang, Lampung, juga Jambi.
Kesenian reog pun terus berkembang. Kini menjadi tayuban atau tari pergaulan. Lantaran tak hanya menari, tetapi juga menjalin komunikasi dengan penonton.
“Gerakan, kostum, dan iringan standar tetap ada. Tapi tak dibatasi untuk mengeksplorasi kreativitas,” kata Sudirman.
Ia tak khawatir kekhasan reog dari asalnya, Ponorogo akan hilang.
“Jangan khwatir. Reog itu tidak dibatasi dan tidak membatasi. Ayo semua main reog,” kata Sudirman. Lewat cara itu, selain melestarikan kesenian tradisi berskala nasional, klaim reog berasal dari negara lain akan pupus.