Sejumlah Fakta Reog, Seni Tari yang Kini Tak Lagi Dipandang Mistis
Yogyakarta, IDN Times – Kedua bocah dari Ponorogo, Jawa Timur, Rafli Bagus Setiawan, 15 tahun dan Fariz Fauzi Alvian Rasyidin, 13 tahun bergerak lincah. Memerankan sebagai Bujang Ganong, patih dari Raja Klana Sewandana, mereka mengenakan topeng.
Bermata melotot, berhidung besar, bermuka merah, dengan rambut acak-acakan. Meski tampak sangar, justru karakter yang dimainkan lucu nan jenaka. Saat menari, mereka melakukan gerakan melompat, salto, juga bergulingan. Gerakannya yang dibuat lucu membuat penonton tertawa.
“Kami pengen nanti bisa menguasai semua tarian. Terutama memainkan Singa Barong,” kata Rafli saat ditemui IDN Times di Bentara Budaya Yogyakarta, 21 Desember 2019 malam lalu dengan bersemangat.
1. Topeng reog bertampang sangar, bermahkota bulu Merak
Kesenian tradisi reog yang berasal dari Ponorogo, Jawa Timur identik dengan Singa Barong. Penari yang memainkannya mengenakan topeng berukuran raksasa. Beragam aksesori melekat pada topeng.
Kerangka topeng dari bambu. Bagian atas berupa mahkota dari bulu burung Merak yang berjumlah 1.300 helai atau cawang. Jumlah itu sesuai kepantasan saja hingga menutup bagian atas topeng, bisa ditambah bila dirasa perlu. Umumnya bulu-bulu burung Merak berwarna hijau dengan bulatan-bulatan warna biru merah keunguan itu didatangkan dari India atau Singapura.
“Karena di sana ada peternakan burung Merak. Harganya lebih murah Rp15 ribu per cawang,” kata Ketua Sanggar Kesenian Reog Ponorogo Kartika Puri, Sudirman.
Sementara jumlah bulu-bulu Merak dari Bojonegoro atau Banyuwangi tak mencukupi bagi ratusan pengrajin topeng reog. Harganya pun lebih mahal. Biasanya mereka menggunakan bulu merak dari kedua kota itu untuk lancur atau bagian tengah topeng.
Kostum penarinya pun khas. Mengenakan atasan dan celana komprang serba hitam, setagen putih, serta rumbai-rumbai warna merah kuning.
2. Meski berat dan digigit, anak-anak bisa memainkan topeng Singa Barong
Tak ayal, topeng Singa Barong menjadi sangat berat. Belum lagi ketambahan pelat besi untuk mengaitkan kepala dengan dadak merak yang disebut dengan cakep.
“Paling kecil beratnya 15 kilogram. Paling besar bisa 35 kilogram,” kata Sudirman.
Cara memakainya pun bukan dipanggul. Melainkan digigit pada bagian bambu di bagian topeng. Di sinilah kekuatan rahang menentukan. Dan menurut Sudirman, tak harus berbadan besar, anak kecil pun bisa memainkan Singa Barong. Begitu pun perempuan.
“Asalkan rajin berlatih, punya kemauan, dan tahu ilmunya,” kata Sudirman.
Ilmu yang dimaksud adalah teknik menggigit topeng sehingga kuat. Berbeda dengan reog zaman dulu yang sering dihubungkan dengan ilmu-ilmu yang berbau mistis. Menurut Sudirman, ilmu supernatural itu hanya untuk memunculkan aura tertentu sehingga melalui sejumlah ritual.
“Kalau sekarang, adik-adik millennial pengen belajar, masak pakai mistik,” kata Sudirman sembari menambahkan, topeng reog dinyatakan sebagai tari topeng terbesar di dunia.
3. Tak ada lagi gemblak di antara warok
Yang tak ada juga dalam reog versi kekinian adalah gemblak. Istilah itu untuk menyebut laki-laki penari reog dan masih belia.
“Mereka anak emasnya warok,” kata Sudirman.
Pemuda yang menjadi gemblak dipilih oleh warok. Mereka akan dikontrak selama dua tahun dengan imbalan dua ekor sapi untuk orang tuanya. Ada juga gemblak yang disekolahkan. Usai kontrak, mereka dikembalikan kepada orang tuanya.
Kisah gemblak, lanjut Sudirman, juga tak lepas dengan ikatan mistis masa itu. warok-warok yang merupakan gambaran prajurit yang tangguh itu mempunyai pantangan agar kesaktiannya tak hilang. Mereka pantang berhubungan seksual dengan perempuan, termasuk istrinya. Namun tak masalah jika berhubungan dengan pemuda.
“Sekarang anak yang menjadi gemblak gak ada. Gemblak sendiri juga gak ada,” kata Sudirman.
4. Ingin reog menjadi seni tradisi yang menasional
Untuk nguri-uri atau melestarikan kesenian reog, Sekretaris Dinas Pariwisata Ponorogo Bambang Wibisono menjelaskan, tiap bulan purnama digelar pentas reog di panggung utama Alun-alun Ponorogo. Kemudian setiap desa harus menggelar atraksi reog tanggal 11 di desa masing-masing dari pukul 15.00-17.00.
“Karena sifatnya pembinaan, penampilnya kebanyakan anak-anak,” kata Bambang.
Perhelatan lain adalah Festival Reog Anak untuk siswa SD dan SMP setiap tahun dan yang digelar setiap Gerebeg Suro yang tahun ini memasuki perhelatan ke-27 kali. Tak heran, jumlah kelompok reog di Ponorogo menjamur hingga 315 kelompok.
Bagi Sudirman, ia berharap reog menjadi kesenian tradisi yang menasional. Tak hanya di Ponorogo, tapi juga dimainkan di setiap daerah. Seperti ketika gelaran di bulan Suro, banyak kelompok reog dari luar Ponorogo menginap di rumahnya. Ada yang dari Gunungkidul, Magelang, Lampung, juga Jambi.
Kesenian reog pun terus berkembang. Kini menjadi tayuban atau tari pergaulan. Lantaran tak hanya menari, tetapi juga menjalin komunikasi dengan penonton.
“Gerakan, kostum, dan iringan standar tetap ada. Tapi tak dibatasi untuk mengeksplorasi kreativitas,” kata Sudirman.
Ia tak khawatir kekhasan reog dari asalnya, Ponorogo akan hilang.
“Jangan khwatir. Reog itu tidak dibatasi dan tidak membatasi. Ayo semua main reog,” kata Sudirman. Lewat cara itu, selain melestarikan kesenian tradisi berskala nasional, klaim reog berasal dari negara lain akan pupus.