Ilustrasi pemudik di Terminal Palbapang (IDN Times/Daruwaskita)
Stasiun Palbapang dibangun bersamaan dengan Stasiun Ngabean, tepatnya pada tahun 1895. Selain membangun stasiun, juga dibangun rumah-rumah dinas bagi pengelola stasiun.
Sayangnya, baik jalur atau stasiun Palbapang tidak berumur panjang. Dilansir laman Jogjacagar Dinas Kebudayaan DIY, krisis Malaise yang terjadi tahun 1931-1935 memukul pabrik gula Sewu Galur dan Pundong hingga akhirnya gulung tikar. Hal ini menyebabkan Stasiun Palbapang menjadi kian sepi pengiriman.
Ditambah, pada tahun 1943 di mana Jepang menduduki Indonesia, banyak jalur kereta api di Pulau Jawa yang dimatikan, termasuk adanya pembongkaran rel KA jalur Palbapang–Sewugalur sepanjang 15 km. Hal ini kemudian berimbas pada matinya Stasiun Palbapang. Namun, saat itu rumah dinas yang berada di sekitar stasiun masih digunakan sebagai rumah hunian keluarga pensiunan PT KAI.
Pada tahun 1954 Stasiun Palbapang kembali diaktifkan meski tak lagi sampai Stasiun Brosot sampai tahun 1975. Gedung eks Stasiun Palbapang sempat berganti-ganti fungsi, mulai dari Kantor Markas Legiun Veteran Kabupaten Bantul dan pada 20 Juli 1990, wilayah Stasiun Palbapang digunakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul sebagai terminal bus dengan rute antar kota dan provinsi.
Stasiun Palbapang termasuk stasiun besar dengan emplasemen luas dan sarana rel kereta api yang kompleks. Fasilitasnya pun lengkap, mulai dari toilet, ruangan kepala stasiun, sampai dengan gudang yang masih berfungsi sampai saat ini. Berbeda dengan jalur kereta api yang banyak tertutup aspal, jadi bagian dari halaman rumah warga, hingga trotoar.