Dia yang bergelar Kanjeng Raden Adipati Danureja II adalah Tumenggung Mertonegoro, cucu dari Kanjeng Raden Adipati Danureja I. Meskipun sedarah, tapi keduanya memiliki sifat yang berbeda. Sebab, Kanjeng Raden Adipati Danureja II justru terkenal sangat dekat dengan pihak kolonial Belanda.
Kedekatan ini membuatnya bertolak belakang dengan Sultan Yogyakarta yang menjabat waktu itu, yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono II, di mana beliau sangat keras menentang Belanda. Meski begitu, Kanjeng Raden Adipati Danureja II sendiri adalah menantu Sri Sultan Hamengku Buwono II yang menikahi Gusti Kanjeng Ratu Hangger, putri dari garwa padmi Gusti Kanjeng Ratu Kedhaton.
Patih satu ini bahkan memiliki catatan buruk dalam kinerjanya menurut Van den Berg, Residen Yogya kala itu. Ia malah disibukkan dengan cara-cara menaikkan derajat dirinya sendiri dibandingkan menjalankan tugasnya sebagai patih.
Akhir kisah, Sri Sultan Hamengku Buwono II melengserkannya dan menunjuk Pangeran Notodiningrat sebagai penggantinya. Meski begitu pada 1810, Daendels mencopot jabatan patih Pangeran Notodiningrat dan mengembalikannya kepada Danureja II. Namun kedudukannya secara sosial sudah direndahkan si keraton sampai-sampai ia tidak diizinkan melakukan sungkem di momen Idul Fitri.
Kanjeng Raden Adipati Danureja II usai sampai 28 Oktober 1811 ketika ia membunuh atas perintah Sultan HB II. Kepada pemerintah Belanda, dilaporkan jika Danurejo II dipecat sebagai patih. Dan karena meninggal di keraton, beliau memiliki sebutan Patih Seda Kedhaton .