Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi Keraton Yogyakarta (instagram.com/kratonjogja)
ilustrasi Keraton Yogyakarta (instagram.com/kratonjogja)

Intinya sih...

  • Kanjeng Raden Adipati Danureja I (1755-1799) adalah patih yang setia pada Pangeran Mangkubumi dan turut berjuang melawan VOC.

  • Kanjeng Raden Adipati Danureja II memiliki hubungan dekat dengan Belanda, sehingga dipecat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono II.

  • Kiai Adipati Purwa diangkat sebagai wakil patih tanpa sepengetahuan pemerintah Belanda oleh Sri Sultan Hamengku Buwono II.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Dalam cerita-cerita berlatar kerajaan, biasanya ada tokoh yang berjuluk patih dengan tugasnya yang berat. Namun ternyata, gak semua kerajaan punya patih, lho, salah satunya adalah Keraton Yogyakarta. Meski begitu, jika merunut pada sejarah, Keraton Yogyakarta pernah punya 8 patih atau yang disebut patih dalem.

Patih dalem merupakan jabatan kerajaan yang setingkat perdana menteri. Dan untuk Patih Kesultanan Yogyakarta memakai gelar Danureja di mana dulunya mereka berkedudukan di sebuah wilayah yang disebut Kepatihan. Nah, berikut ini adalah nama-nama yang pernah menjabat sebagai patih Kasultanan Yogyakarta yang perlu kamu tahu dan alasan mengapa jabatan ini tinggal nama.

1. Kanjeng Raden Adipati Danureja I (13 Februari 1755-19 Agustus 1799)

Kanjeng Raden Adipati Danureja I atau yang semasa mudanya dikenal dengan nama Raden Bagus Konting Mertowijoyo adalah patih yang sekaligus anak dari Kiai Raden Adipati Yudonegoro II, Bupati Banyumas. Sejak kecil ayahnya sudah mengutus dirinya untuk menjadi bagian dari Keraton Kartasura, Mataram. Karena itu, beliau cukup akrab dengan Pangeran Mangkubumi atau yang kelak menjadi Sultan Hamengku Buwono I.

 Kesetiaan Kanjeng Raden Adipati Danureja I pada Pangeran Mangkubumi tak perlu diragukan. Ia bahkan turut berjuang bersama Pangeran Mangkubumi melawan VOC. Hingga akhirnya ia naik takhta menggantikan ayahnya sebagai Bupati Banyumas yang bergelar Kiai Raden Adipati Yudonegoro III.

 Setelah perang berakhir dan Pangeran Mangkubumi secara resmi menjadi Sultan Yogyakarta dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I, Kiai Raden Adipati Yudonegoro III dipilih menjadi Pepatih Dalem  dengan gelar Kanjeng Raden Adipati Danureja I. Kedekatan keduanya cukup tersohor, bahkan Hartingh yang tak lain adalah Gubernur VOC saat itu, menyebutkan bahwa Patih Danureja I yang mendampingi Sri Sultan bagai keris dan warangka (sarung keris) yang bersatu memimpin Kesultanan Yogyakarta.

2. Kanjeng Raden Adipati Danureja II (9 September 1799-28 Oktober 1811)

Dia yang bergelar Kanjeng Raden Adipati Danureja II adalah Tumenggung Mertonegoro, cucu dari Kanjeng Raden Adipati Danureja I. Meskipun sedarah, tapi keduanya memiliki sifat yang berbeda. Sebab, Kanjeng Raden Adipati Danureja II justru terkenal sangat dekat dengan pihak kolonial Belanda.

Kedekatan ini membuatnya bertolak belakang dengan Sultan Yogyakarta yang menjabat waktu itu, yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono II, di mana beliau sangat keras menentang Belanda. Meski begitu, Kanjeng Raden Adipati Danureja II sendiri adalah menantu Sri Sultan Hamengku Buwono II yang menikahi Gusti Kanjeng Ratu Hangger, putri dari garwa padmi  Gusti Kanjeng Ratu Kedhaton.

Patih satu ini bahkan memiliki catatan buruk dalam kinerjanya menurut Van den Berg, Residen Yogya kala itu. Ia malah disibukkan dengan cara-cara menaikkan derajat dirinya sendiri dibandingkan menjalankan tugasnya sebagai patih.

Akhir kisah, Sri Sultan Hamengku Buwono II melengserkannya dan menunjuk Pangeran Notodiningrat sebagai penggantinya. Meski begitu pada 1810, Daendels mencopot jabatan patih Pangeran Notodiningrat dan mengembalikannya kepada Danureja II. Namun kedudukannya secara sosial sudah direndahkan si keraton sampai-sampai ia tidak diizinkan melakukan sungkem di momen Idul Fitri.

Kanjeng Raden Adipati Danureja II usai sampai 28 Oktober 1811 ketika ia membunuh atas perintah Sultan HB II. Kepada pemerintah Belanda, dilaporkan jika Danurejo II dipecat sebagai patih. Dan karena meninggal di keraton, beliau memiliki sebutan Patih Seda Kedhaton .

3. Kiai Adipati Purwa (7 November 1811-2 Desember 1813)

Ada yang unik saat Patih Danurejo II meninggal dunia, yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono II menunjuk Tumenggung Sindunegara sebagai wakil patih yang dilakukan tanpa sepengetahuan pemerintah Belanda. Secara hukum, ini bertentangan dengan kontrak politik, tapi Sri Sultan Hamengku Buwana II terus melaju.

Tumenggung Sindunegara memiliki nama asli Mas Riya Mendura. Ia sendiri adalah putra dari Patih Danurejo I. Sayangnya, hingga akhir masa jabatannya, ia tidak pernah secara resmi menyandang gelar Raden Adipati tapi sering diebut Kiai Adipati karena pada masa itu ia kerap bertindak sebagai patih.

4. Kanjeng Raden Adipati Danureja III (2 Desember 1813-22 Februari 1847)

Pangeran Joko Hadiyosodiningrat atau yang juga dikenal dengan Raden Joyosentiko adalah yang bergelar Kanjeng Raden Adipati Danureja III. Beliau mengisi posisi patih mulai 2 Desember 1813, di masa Sri Sultan Hamengku Buwono IV naik takhta di usia 10 tahun. Danurejo III menikah dengan Gusti Kanjeng Ratu Sasi yang tak lain adalah putri Sri Sultan Hamengku Buwono II dari Gusti Kanjeng Ratu Kencono Wulan.

Salah seorang anaknya, Gusti Kanjeng Ratu Kencono, menikah dengan Sri Sultan Hamengku Buwono IV yang dari pernikahan ini melahirkan GRM. Menol yang kemudian dinobatkan menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono V saat masih berusia tiga tahun.

Patih Danurejo III semasa bekerja cenderung condong kepada pihak Belanda, malah menggunakan kekuasaannya secara berlebihan hingga menyerahkan pajak  pengarem-arem  yang harusnya kepada kesultanan justru diberikan kepada pemerintah kolonial Belanda. Bahkan, ia juga menambah jumlah gerbang-gerbang pungutan atau yang disebut tolpoorten yang disewakan kepada orang-orang Cina.

Karena sikapnya ini lah yang membuat Pangeran Diponegoro sangat murka hingga menjadi salah satu pemicu pecahnya Perang Jawa (1825-1830).

5. Kanjeng Raden Adipati Danurejo IV (11 Februari 1847-17 November 1879)

Potret Kanjeng Raden Adipati Danurejo IV (11 Februari 1847-17 November 1879)

Kanjeng Raden Adipati Danurejo IV memiliki nama kecil Raden Bagus Sukapja. Sedangkan di masa dewasanya ia bergelar Kanjeng Raden Tumenggung Gondokusumo. Ia adalah putra dari Kanjeng Raden Adipati Danurejo II dan selama berlangsung Perang Jawa (1825-1830), ia adalah salah satu panglima Diponegoro yang berada di wilayah Banyumas.

Kanjeng Raden Adipati Danurejo IV menikah dengan BRAy Danurejo yang tak lain adalah putri dari Sri Sultan Hamengku Buwono IV dan BRAy Retnodiningrum. Setelah hampir 33 tahun mengabdi, Danurejo IV mengajukan pengunduran dirinya. Pun dirinya memiliki julukan nama Pangeran Harya Juru atau Pangeran Juru Ridder. Dan kala meninggal dunia pada tahun 1884, beliai dimakamkan di Astana Mlangi, sebelah utara Demakijo.

6. Kanjeng Raden Danurejo V (1879-1899)

Kanjeng Raden Danurejo V menikah dengan putri Sri Sultan Hamengku Buwono VI, yaitu GKR Pembayun. Semasa menjabat, banyak hal yang terjadi di kasultanan, termasuk adanya pembangunan ulang Tugu Golong Gilig yang rusak akibat gempa bumi tahun 1867.

Pekerjaan ini dipimpin langsung oleh patih saat itu, Danurejo V. Dan ketika tugu dalam bentuk baru yang diberi nama de Wite Pal  diresmikan, namanya tertulis pada prasasti tersebut dan masih bisa dibaca sampai sekarang.

Dan dalam pengawasan beliau pula, terbit beberapa karya sastra yang memuat sejarah Kasultanan Yogyakarta, termasuk Serat Pustaka Jatya dan Serat Babad Mataram .

7. Kanjeng Raden Adipati Danurejo VI (17 Maret 1900-15 Oktober 1911)

Danurejo VI dikenal dengan nama Kanjeng Pangeran Harya Cakraningrat. Ia terkenal memiliki banyak karya tulis. Di antaranya adalah Kempalan Kitab-Kitab Islam dan Serat Betaljemur Adammakna .

Kanjeng Raden Adipati Danurejo VI memiliki seorang cucu bernama Bendara Raden Mas Kudiarmaji yang sangat disayangi. Sang cucunya tersebut mendapat gelar Bendoro Pangeran Haryo Suryomentaram di mana saat dewasa ia merelakan gelar kepangeranannya dan beralih sebagai tokoh tasawuf Jawa bernama Ki Ageng Suryomentaram.

8. Kanjeng Pangeran Haryo Adipati Danurejo VII (1 Maret 1912-Oktober 1933)

Kanjeng Pangeran Haryo Yudanegara III adalah yang bergelar Kanjeng Pangeran Haryo Adipati Danurejo VII. Diketahui beliau sangat menyukai seni pertunjukan dan berkeinginan membawakan pertunjukan wayang orang ke luar tembok keraton. Untuk inilah beliau menciptakan Langen Mandra Wanara, pertunjukan tarian-tariannya yang dilakukan dengan jongkok dan dialognya berupa tembang. Selain itu, beliau juga menciptakan gamelan yang bilahnya terbuat dari pecahan kaca, dikenal dengan sebutan Gamelan Beling .

 Beliau menikahi GKR Ayu yang tak lain adalah putri Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan GKR Hemas. Dan, ia wafat pada bulan Jumadilakhir tahun 1864 J dan dimakamkan di Makam Cendonosari, dusun Wonocatur, Banguntapan, Bantul.

9. Kanjeng Pangeran Haryo Adipati Danurejo VIII (30 November 1933-14 Juli 1945)

Kanjeng Pangeran Haryo Adipati Danurejo VIII (kratonjogja.id)

Kanjeng Pangeran Haryo Adipati Danurejo VIII adalah patih terakhir yang dimiliku Kasultanan Yogyakarta. Ia adalah menantu menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono VII dengan menikahi GKR Condrokirono, putri dari garwa padmi  GKR Kencono, dan dilantik sebagai patih di Betawi. Sosoknya dikenal cukup berpendidikan. Sebab ia adalah sarjana politik dari Belanda, lulusan ELS (Europeesche Lagere School).

Karena usianya sudah lanjut dan sakit, beliau berhenti dengan hormat dari jabatan pepatih dalem dan gelarnya menjadi Kanjeng Pangeran Harya Adipati Harjokusumo.

Berakhirnya pepatih dalem terjadi saat masa kependudukan Jepang oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Langkah ini dilakukan agar kekuasaan atas Kesultanan Yogyakarta dapat digenggamnya penuh dan digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Sebab sebagaimana yang diketahui bahwa awalnya pepatih dalem memiliki fungsi dua muka. Satu muka mengabdi pada kassultanan, tapi di sisi lainnya tunduk pada pemerintah kolonial Belanda. Sejak saat itu, tidak pernah ada lagi posisi patih di Kesultanan Yogyakarta.

Editorial Team