Prasasti Geger Sepoy (instagram.com/kratonjogja)
Terjadi juga kontrak politik antara Hamengku Buwono III dengan Residen John Crawfud yang berisi bahwa Inggris menerima konsesi wilayah yang meliputi Jipang, Kedu, Japan (Mojokerto), Pacitan, dan Grobogan. Hal ini mengakibatkan bupati yang berada di wilayah tersebut dipulangkan ke Yogyakarta dan digantikan bupati-bupati yang pro kolonial Inggris.
Inggris juga menetapkan pajak sewa atas tanah yang digarap penduduk serta menghapus kerja wajib. Bahkan, Inggris juga memberikan kekuasaan kepada kepada orang Cina untuk mengelola pajak yang berakibat menyengsarakan rakyat.
Geger Sepehi tak hanya mengubah tatanan politik dalam Keraton Yogyakarta, tapi seluruh rakyat di bawah pemerintahan keraton. Dan untuk mengenang peristiwa tersebut, dibangunlah Prasasti Geger Sepoy, di Kampung Ketelan Wijilan, Jokteng Lor Wetan, Yogyakarta. Prasasti ini untuk mengenang perjuangan rakyat Mataram dalam melawan penjajah.
Melansir tulisan "Geger Sepehi dan Pengaruh Inggris di Kesultanan Yogyakarta Tahun 1812-1816 M" (Rizky Budi Prasetya Sulton, UIN Sunan Kalijaga: 2020), Geger Sepehi juga disebutkan sebagai latar belakang terjadinya Perang Jawa atau yang juga dikenal dengan Perang Diponegoro. Inggris mengembalikan Jawa kepada Belanda setelah lima memimpin. Hal ini sesuai dengan Perjanjian Wina di tahun 1814 di bawah Gubernur Jendral Belanda, van der Capellen.
Penguasaan asing menjadikan Sultan hanya sebagai boneka yang menjalankan keinginan kolonial. Terlebih setelah wafatnya Sri Sultan Hamengku Buwono III di tahun 1814 dan Hamengku Buwono IV di tahun 1822 dalam usia muda sehingga banyak terjadi kekisruhan di dalam Keraton Yogyakarta.