Berbagi Ilmu Kopi dari Hulu-Hilir: Biar Petani Tak Dibohongi

Banyak yang menawar rendah harga kopi petani

Yogyakarta, IDN Times - Secara umum, murid-murid yang belajar kopi di A Bunch of Caffeine Dealers (ABCD) School of Coffee mulai usia 11 tahun hingga 60-an tahun. Paling banyak berasal dari Jakarta. Selebihnya dari berbagai kota di Indonesia, bahkan luar negeri seperti Slovakia dan New Zealand.

Ketika membuka kelas di Yogyakarta, Hendri Kurniawan (46), salah satu pendiri ABCD School of Coffee, mengaku peminat dari Kota Gudeg ini minim. Mungkin karena pengaruh pandemi.

Seperti kelas dari sekolah kopi yang digelar di Yogyakarta pada 12-14 Maret 2021 lalu. Tiga peserta justru berasal dari luar Yogyakarta. Ada yang berprofesi sebagai pramugari dari Semarang, pelajar SMA kelas akhir dari Surabaya, juga pengelola warnet dari Jombang. Ketiganya punya cita-cita yang sama: membuka kafe kopi.

“Ayahku mau buka kafe. Dan aku diminta ikut sekolah kopi di sini,” kata Rifki asal Surabaya yang ingin melanjutkan kuliah di Jurusan Hubungan Internasional.

Yang menarik, meskipun latar belakang para peserta beragam, Hendri punya harapan khusus terhadap murid-muridnya. Dia ingin para calon bos coffee shop dan para petani kopi mau belajar kopi. Tidak sepenuhnya diserahkan kepada karyawannya. Kok bisa? Yuk simak.

Baca Juga: Kisah Juri Kompetisi Kopi Dunia Berbagi Ilmu di Kelas Lokal

1. Bos kedai kopi diajak ikut belajar

Berbagi Ilmu Kopi dari Hulu-Hilir: Biar Petani Tak DibohongiJuri kompetisi kopi dunia, Hendri Kurniawan. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Dalam setiap sesi, meski diakhiri dengan praktik, Hendri selalu memulai dengan membuka laptop dan menyajikan modulnya melalui monitor untuk disimak murid-muridnya. Dengan kata lain, belajar teori lebih dulu. Namun Hendri mewanti-wanti, belajar kopi tak sekadar untuk mendapat modul.

“Modul kami desain untuk orang malas. Karena googling pun ada,” kata Hendri saat ditemui IDN Times di Ruang Seduh Kopi Yogyakarta, 13 Maret 2021.

Yang terpenting justru bagi-bagi pengalaman pribadi dari para trainer di kelas. Selepas belajar, murid-murid ini masuk database mereka sebagai extended family alias keluarga sambung.

“Makanya ABCD sekarang punya EF juga. Extended Family. Lulusannya kami anggap keluarga,” kata Hendri.

Mereka menjadi jaringan yang kuat. Mengingat tak sedikit alumni yang sudah menjadi pemilik kafe kopi atau pun menjadi barista andal. Bagi yang ingin mendalami ilmu kopi bisa magang di sana. Jika penuh, maka bisa dititipkan di kafe-kafe milik para alumni ini.

“Kadang ada murid yang mau buka kafe dan butuh barista. Nawarinnya ke grup dulu, bisa bantu gak. Kami carikan. Itu tujuannya,” papar Hendri.

Grup keluarga alumni yang mencapai ribuan ini menjadi cikal bakal Jakarta Coffee Week pada 2016 yang diklaim terbesar se-Asia Tenggara. Perkembangannya, kian banyak dari luar alumni yang ingin ikut serta.

Sementara murid yang ingin jadi owner pun mendapatkan materi yang sama. Ada kelas cupping, manual brew, espresso, juga latte art. Di sisi lain, ada pula owner yang mengirim stafnya untuk belajar.

Biasanya Hendri akan menyarankan owner untuk turut belajar. Mengingat pekerja tak selamanya bekerja pada owner yang sama. Tidak menutup kemungkinan mereka akan pindah kerja ke tempat lain. Bahkan tak sedikit barista yang sudah jago, kemudian dibajak untuk bekerja di tempat lain.

“Kalau mau bikin kafe, bosnya dulu ikut kelas. Ilmunya bisa buat mengajar muridnya. Basically, bos harus tahu apa yang mau dijual,” kata Hendri.

2. Petani kopi belajar proses kopi di hilir

Berbagi Ilmu Kopi dari Hulu-Hilir: Biar Petani Tak DibohongiIDN Times/Indiana Malia

Sejumlah pihak menyebut biaya belajar kopi tiga hari yang jutaan itu kemahalan. Di sisi lain, Hendri menerapkan subsidi silang untuk murid-muridnya. Mereka yang mendapat subsidi, salah satunya adalah petani kopi.

“Kami membuka free class untuk petani,” kata Hendri yang baru memulai kelas untuk petani kopi sekitar enam bulan lalu.

Alasannya, ada proses dari hulu ke hilir yang harus dilalui untuk membuat butiran biji kopi dari mulai ditanam petani hingga siap tersaji dengan nikmat di atas cangkir oleh barista. Setidaknya melibatkan sejumlah aktor, mulai dari petani kopi, Q-grader, roaster, hingga barista. Dari sinilah specialty coffee diperoleh, yaitu penilaian berstandar SCAA (Specialty Coffee Association of America) atas aroma dan rasa kopi yang istimewa dengan nilai minimum 80.

“Saya hanya punya kemampuan di hilir. Gak punya kemampuan di hulu. Kami ingin melengkapi,” kata Hendri.

Jumlah petani kopi yang diajak ikut sekolah kopi tak banyak. Sebatas yang sudah dikenal dan punya potensi. Pekan lalu pun ada petani yang dibilang jago dalam mengelola kebun kopi yang tengah ikut belajar di Jakarta. Dalam pembelajaran itu, pihak Hendri dan petani kopi saling tukar ilmu di hulu dan hilir. Hendri pun minta agar petani tersebut turut mengoreksi modul yang sudah dibuatnya, apabila ada kekeliruan.

“Biar kami rapiin. Ternyata menurut dia, gak ada masalah,” kata Hendri.

Dan para petani itu pun belajar proses mengelola kopi di bagian hilir. Seperti cara membuat espresso, cappuccino, dan seterusnya.

“Kan gak pernah mereka bikin itu sebelumnya. Jadi kami ingin melengkapi mereka,” kata Hendri.

3. Impian Rp10 juta per satu kilogram kopi

Berbagi Ilmu Kopi dari Hulu-Hilir: Biar Petani Tak DibohongiBerbagai jenis varian kopi arabika Gayo di Galeri Kopi Indonesia, Kota Takengon, Aceh (IDN Times/Saifullah)

Semula tak ada akses Hendri untuk mendekati petani kopi. Bagi Hendri, tak mungkin tiba-tiba dia datang ke kebun kopi dan berceloteh panjang lebar tentang kopi yang berkualitas. Kemudian memberi nasehat kepada petani tentang apa yang harus mereka lakukan agar kopinya berkualitas bagus.

“Gak mungkin saya datang ke petani terus minta kopinya harus diginiin. Siapa gue?” kata Hendri.

Perhelatan Jakarta Coffee Week-lah yang menjadi pintu masuk. Mereka mengundang petani-petani kopi berbagai daerah untuk datang. Sebelum acara dimulai pukul 10.00, Hendri mengajak mereka berbincang sembari ngopi bersama pukul 08.00.

Di hadapan sekitar 200 petani, Hendri mulai cerita tentang sebuah kopi yang pernah dicicipinya dan menjadi jawara dalam kompetisi dunia. Kopi Gheisa namanya. Dia meracik kopi itu, menyeduhnya, dan menyajikannya untuk para petani kopi. Banyak komentar dilontarkan petani lantaran rasanya aneh. Rata-rata yang mereka tahu, kopi itu hitam, pekat, pahit, sehingga harus ditambah gula.

“Kok rasanya begini ya, begitu ya. Saya bilang, kopi ini harganya Rp10 juta per kilo,” kata Hendri.

Para petani pun kaget. Harga sekilo kopi mereka sangat jauh dari angka tujuh digit. Sedangkan harga kopi mereka harga berkisar Rp100 ribu–Rp120 ribu per kilo. Itu pun banyak pembeli yang masih menawar dengan harga yang jauh lebih murah.

“Banyak yang bilang ingin bantu petani. Tapi kalau beli kopi ditawar abis-abisan,” kata Hendri.

Berbeda dengan kondisi petani kopi di luar negeri. Petani menetapkan harga, dibeli konsumen, bahkan dilebihkan nominal bayarnya sekian persen. Hendri ingin petani kopi di Indonesia mendapat penghargaan seperti itu.

“Bahkan ada petani kopi yang minta CV pembeli. Dari situ dia menentukan, boleh gak kopinya dibeli,” kata Hendri.

Impian-impian itu bukan hal yang muskil terwujud. Mengingat ada 14 provinsi di Indonesia yang menjadi produsen kopi. Selain itu, iklim tropis Indonesia mendukung tanaman-tanaman kopi tumbuh subur. Juga berada di deretan gunung-gunung berapi.

“Hanya saja masih banyak yang harus diberesin,” kata Hendri.

Dari obrolan ngopi bareng itu, para petani pun ingin tahu bagaimana cara agar kopi mereka bisa punya harga jual tinggi. Suasana pun cair. Mereka ngalor ngidul saling berbagi kisah. Hendri menekankan yang diutamakan adalah kualitas kopi, bukan kuantitas. Tak masalah harga kopi per kilogram Rp 400 ribu. Dan dia yakin tetap ada yang mencari dan membelinya.

“Kalau ngejar kuantitas capek. Akan terus jadi budak,” kata Hendri.

4. Petani kopi belajar biar tak dibohongi

Berbagi Ilmu Kopi dari Hulu-Hilir: Biar Petani Tak DibohongiIDN Times/Hana Adi Perdana

Lantas apa benang merah antara hulu-hilir industri kopi dengan sekolah kopi? Menurut Hendri, ketika sekolah kopi dibuka, dia tengah menyiapkan pasarnya. Tak hanya koar-koar soal specialty coffee, melainkan juga mentransfer ilmu agar para murid paham.

Usai belajar, mereka akan mencari kafe-kafe yang menjual kopi specialty. Kemudian kafe-kafe itu akan membeli kopi dari roaster yang memproduksi kopi-kopi specialty. Rantai jejaring berlanjut. Para roaster akan berburu kopi ke petani-petani yang memproduksi specialty coffee.

Di area seluas 200-300 meter persegi, panitia Jakarta Coffee Week juga memfasilitasi petani-petani kopi untuk menggelar lapaknya. Jadilah pasar kopi yang diberi nama Skopi. Pasar itu untuk memfasilitasi roaster yang ingin membeli kopi tak lebih dari 10 kilogram. Pesanan dalam jumlah kecil itu kadang enggan dilayani petani kopi besar.

“Kan banyak roaster yang punya mesin hanya bisa menampung 1-1,5 kilo kopi,” kata Hendri.

Di sisi lain, ada petani kopi yang tidak banyak memproduksi kopi alias small holder. Atau pun produk petani kopi yang jarang dibeli. Mereka bisa memanfaatkan fasilitas pasar kopi untuk bertransaksi. 

Lantas apa big goal yang diharapkan Hendri membuka sekolah kopi bagi petani? Diakui Hendri, dia tak berharap para petani kopi jago menjadi roaster kopi. Juga tak berharap mereka mumpuni menjadi barista yang bisa menyeduh kopi dengan beragam alat, rasa, dan piawai membuat aneka gambar latte art. Lantaran menjadi produsen kopi dan roaster kopi adalah dua hal yang berbeda.

“Harapan saya, biar petani kopi gak dibohongin,” kata Hendri.

Dengan belajar kopi, petani jadi tahu cara cupping, cara menyeduh kopi. Mengingat konsumen acap kali memberi penilaian buruk pada kualitas kopi petani. Rasa yang tak enak, misalnya. Penilaian itu menjadi alasan untuk membeli kopi petani dengan harga miring.

“Karena petani gak tahu cara nyicip, cara nyeduh. Kalau belajar, jadi tahu,” imbuh Hendri. 

Baca Juga: Kisah Pengusaha Warkop yang Diangkat Penyakitnya dengan Kopi (1)

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya