Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi pria Jawa bermain gamelan (pixabay.com/@nico_boersen)
Ilustrasi pria Jawa bermain gamelan (pixabay.com/@nico_boersen)

Intinya sih...

  • Gamelan sudah eksis sejak 404 Masehi

  • Gamelan digunakan dalam budaya Islam dan kolaborasi dengan alat musik Eropa

  • Gamelan kini bukan hanya hiburan, tetapi juga media promosi kebudayaan Jawa dan sarana pendidikan

Gamelan sebagai alat musik tradisional, dikenal sampai mancanegara. Namun, tak banyak yang tahu gamelan memiliki perjalanan panjang, bahkan sudah ada sejak abad ke-4 Masehi. Perkembangannya meluas di era kerajaan Hindu-Budha di Pulau Jawa, Sumatera, hingga Bali.

Hebatnya, hingga saat ini gamelan eksis digunakan sebagai pengantar saat gelaran budaya, hingga ditetapkan sebagai warisan budaya takbenda oleh UNESCO pada 2021. Berikut kilas balik sejarah gamelan yang perlu kamu ketahui.

1. Sejarah dan asal-asul nama gamelan

Gamelan (pixabay.com/Dedy_Timbul)

Gamelan diperkirakan sudah ada sejak 404 Masehi atau tahun 363 Saka. Ini diketahui dari bukti penggambaran relief di Candi Prambanan dan Borobudur. Nah, sebutan gamelan berasal dari kata gembelan yang artinya suatu barang yang sering digembel.

Digembel merupakan benda hasil digembel-gembel atau dipukul-pukul. Namun seiring perkembangan zaman, terjadi pergeseran hingga disebut gamelan.

2. Gamelan di era Kerajaan Islam

ilustrasi penabuh gamelan (pexels.com/Maxime LEVREL)

Gamelan awalnya hanya berupa alat tabuh, kemudian dengan gendang dan simbal, hingga membentuk orkestra lalu disebut gamelan. Pada zaman itu, gamelan sangat istimewa, kehadirannya hanya ada di momen tertentu.

Dikutip laman ullensentalu.com, salah satu momen gamelan akan dimainkan adalah saat upacara Grebeg Mulud sebagai acara peringatan kelahiran Nabi Muhammad. Dalam acara ini, gamelan keraton dibunyikan di depan Masjid Keraton selama tujuh hari tujuh malam dalam prosesi yang disebut sekaten.

Selanjutnya, sebagai puncak acara grebeg akan ditampilkan tetabuhan yang dimainkan oleh kesatuan prajurit Keraton. Berbeda kala sekaten yang dimainkan secara khidmat, di momen garebeg alat musik akan lebih meriah. Hal ini yang menjadi latar belakang penamaan garebeg yang diambil dari kata gumarebeg yang artinya riuh dan ramai.

3. Gamelan berpadu dengan alat musik Eropa

foto kegiatan Jamasan Gamelan di Istana Kepresidenan Yogyakarta (instagram.com/istanakepresidenanyogyakarta)

Gamelan nyatanya tak cuma bisa dinikmati oleh pribumi. Pada 1920, seniman bernama Walter Spies dari Jerman yang tinggal di Jogja mementaskan pertunjukan gamelan yang dikolaborasi dengan piano di Istana Raja. Meski begitu, orkestra dengan alat musik eropa juga banyak dimainkan khususnya untuk menghibur warga asal benua biru yang umumnya diadakan di gedung perkumpulan.

Tari-tarian tradisional tak luput dari kolaborasi dengan alat musim gamelan. Di antaranya adalah tari srimpi dan tari bedhaya yang menggambarkan tentang keanggunan, serta ditarikan dengan lemah lembut. Ada juga tari gambyong pareanom yang umumnya diadakan untuk hiburan di hajat penting seperti pernikahan, yang menyertakan tabuhan gamelan dan lagu Jawa yang mengisahkan tentang kehidupan sehari-hari.

4. Gamelan di masa kini dan fungsinya

Gamelan Sekaten Keraton Kasunanan Surakarta. (IDN Times/Larasati Rey)

Sedangkan gamelan di era sekarang tak hanya sebagai hiburan di kalangan ningrat saja, nanfaatnya kian luas, mulai sebagai media promosi kebudayaan Jawa yang arif, hingga sarana pendidikan. Bahkan, tanggal. 15 Desember telah ditetapkan sebagai Hari Gamelan yang berdasar pada peristiwa penetapan gamelan sebagai warisan budaya takbenda oleh UNESCO.

Banyak komunitas dengan latar belakang gamelan yang berdiri di Indonesia. Di Yogyakarta sendiri misalnya, ada Gayam 16 yang bertujuan mengembangkan hingga mengadakan festival seni gamelan.

Belum lagi sekolah yang memiliki konstentrasi ilmu karawitan, salah satu ilmu yang dipelajari yaitu tentang gamelan, yaitu ISI Yogyakarta, SMKI Yogyakarta, ISBI Badung, ISI Surakarta, ISBI Aceh, dan ISI Padang Panjang.

Editorial Team