Ilustrasi candi-candi di kompleks candi prambanan (pexels.com/id-id/@gsn-travel)
Mengutip dari laman Kalurahan Madurejo, nama Sorogedug merupakan gabungan dari dua kata, Surodigdoyo dan Dugdheng. Sebutan “dugdheng” sendiri diberikan kepada seseorang yang memiliki kesaktian luar biasa, terutama dalam ilmu kebal terhadap senjata tajam. Karena kemampuan itulah, Surodigdoyo kemudian dikenal luas dengan nama Mbah Dugdheng.
Dahulu wilayah di selatan Prambanan hingga sekitar Piyungan dikenal rawan. Kawasan itu sering menjadi lokasi pembegalan, terutama terhadap pedagang yang melintas dari Gunungkidul, Klaten, atau Surakarta menuju Yogyakarta. Selain rawan kejahatan, daerah tersebut juga dianggap angker karena masih banyak dipenuhi pepohonan besar.
Melihat kondisi itu, Surodigdoyo merasa terpanggil untuk menjaga keamanan wilayahnya. Ia menumpas para begal dengan kesaktiannya. Bersama keluarganya, Mbah Dugdheng membuka lahan dan menjadi perintis Padukuhan Sorogedug. Perlahan, wilayah yang semula sepi mulai dipadati penduduk hingga akhirnya terbentuk sebuah padukuhan. Untuk menghormati jasa dan pengabdiannya, nama Sorogedug diambil sebagai bentuk penghormatan kepada Surodigdoyo, sosok rakyat biasa yang memiliki kesaktian luar biasa.
Pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII, Mbah Dugdheng dikenal bukan hanya sakti, tapi juga dermawan dan bijaksana. Ia menentang kebijakan Belanda yang menindas rakyat dengan sistem tanam paksa. Ketegasannya membuat Belanda segan dan bahkan menawarinya jabatan di pabrik tembakau. Namun, tawaran itu ia tolak. Bagi Mbah Dugdheng, lebih baik hidup sederhana asal tetap berpihak pada rakyat Sorogedug.