Ngawu-awu, Tradisi Menanam Petani Gunungkidul sebelum Musim Hujan

- Mengandalkan pengetahuan tradisional untuk menentukan kegiatan
- Ini alasan kegiatan tanam dilakukan lebih dini
- Petani melaksanakan kendurian sebelum prosesi ngawu-awu
Langit kerap mendung, angin pun bertiup kencang, itu bisa menjadi tanda akan datangnya musim hujan. Tanda alam menjadi petunjuk bagi petani di Gunungkidul untuk melakukan suatu kegiatan mengolah sawah.
Dikutip laman Kalurahan Purwodadi Kapanewon Tepus Kabupaten Gunungkidul, petani mulai menanam bibit padi di lahan yang masih kering dengan harapan hasilnya berlimpah ketika hujan turun. Nah, tradisi ini dikenal sebagai ngawu-awu. Yuk, belajar bersama tentang tradisi ngawu-awu.
1. Mengandalkan pengetahuan tradisional untuk menentukan kegiatan

Menurut laman budaya.jogjaprov.go.id, ngawu-awu merupakan salah satu kebiasaan petani menanam benih di sawah meski belum memasuki musim hujan. Ini sekaligus diiringi kepercayaan bahwa musim penghujan akan datang. Petani tidak hanya asal menebak, mereka menggunakan ilmu pengetahuan tradisional yaitu titen.
Berbekal ilmu titen, petani menyebar pupuk terlebih dulu di lahan yang akan digarapnya. Selanjutnya, mereka mulai menanam benih padi di atas lahan yang kondisinya belum empuk. Lahan masih keras disebabkan curah hujan di area tersebut masih rendah.
Memang diperlukan ketepatan dalam menanam agar gak terjadi kerugian. Kearifan lokal bisa membantu petani tradisional mengolah lahan agar menghasilkan.
2. Ini alasan kegiatan tanam dilakukan lebih dini

Meski hujan belum turun, kenapa petani tetap melakukan tradisi ini? Ternyata ada juga penyebab lain selain mengandalkan ilmu titen, yaitu karena faktor tenaga kerjanya.
Begini, ketika musim hujan sudah tiba dan sawah kondisi tanahnya mulai basah, hampir semua petani bekerja di sawahnya. Momen inilah yang jadi alasan berikutnya Ngawu-awu dilaksanakan. Wajar kalau ada kekhawatiran kesulitan mencari tenaga untuk menanam karena petani lain juga berkegiatan di sawah masing-masing.
Dengan menanam lebih awal, petani bisa mengelola waktu secara fleksibel dan tidak kerepotan saat mulai turun ke ladang. Ini termasuk bagian strategi yang tepat.
3. Petani melaksanakan kendurian sebelum prosesi ngawu-awu

Tentu saja, para petani tak langsung menggarap sawah. Ada sebuah tradisi sebelum memulainya yaitu kendurian atau slametan. Kegiatan ini merupakan gelaran acara doa bersama untuk memohon kelancaran kegiatan dan keberkahan.
Melalui doa yang dipanjatkan kepada Tuhan, akan memunculkan harapan dan semangat bekerja sehingga menghasilkan panen yang melimpah. Setelah doa bersama, hari berikutnya barulah para petani mulai menggarap lahan. Semuanya dilakukan dengan biat baik, persiapan matang dan pertimbangan sambil melestarikan tradisi lokal.
4. Wujud optimisme petani

Ngawu-awu menunjukkan keharmonisan hubungan petani dengan alam. Tanda-tanda yang diberikan membantu dalam berkehidupan. Ada pelajaran tentang strategi menanam, mengasah keberanian dalam mengambil risiko, dan memberikan harapan untuk masa depan.
Tradisi ini mengingatkan setiap orang bahwa kearifan lokal tetap memiliki kedudukan penting di tengah masyarakat. Mari, lestarikan dan ikut berkontribusi agar tradisi ini semakin berkembang memberikan banyak hal baik untuk bersama.