ilustrasi pasangan pengantin (pexels.com/Sili Ontheway)
Panggih berarti bertemu, ini bagian puncak acara di pernikahan adat Jawa, baik Jogja dan Surakarta. Setelah sah sebagai suami istri, keduanya dipertemukan menggunakan busana yang berbeda saat ijab, namun tetap menggunakan pakaian adat khas Jogja.
Gendhing Jawa akan dimainkan sebagai pengiring jalannya pengantin, yang menjadikan suasana semakin sakral dan khidmat. Ada keunikan dalam gaya Jogja yaitu menampilkan tarian edan-edanan sebagai iringan pengatin ke hadapan orangtua.
Setelah kedua pengantin bertemu, kurang lebih dalam jarak 3 meter dengan posisi berhadapan, dilanjutkan sesi balangan suruh. Suruh yang digunakan punya makna, yaitu melambangkan kekuatan untuk menangkal hal-hal buruk, sehingga kehidupan rumah tangga damai, aman, sejahtera.
Dalam tradisi Jogja, jumlah lemparan daun sirih berbeda dari Surakarta. Pada tradisi Surakarta lemparan dilakukan oleh masing-masing satu kali saja dengan seiikat sirih. Sedangkan tradisi Jogja, lemparan dilakukan oleh pengantin laki-laki sebanyak empat kali dengan empat ikat sirih, dan perempuan sebanyak tiga kali dengan tiga ikat sirih.
Selanjutnya dilakukan tahapan wiji dadi (memecahkan telur). Pengantin laki-laki menginjak telur sampai pecah, dan pengantin perempuan mencuci kaki suaminya dengan air bunga. Ini melambangkan tindakan penuh cinta dan bakti kepada suami.
Prosesi berikutnya adalah dahar klimah. Adat Jogja dan Surakarta memiliki perbedaan cara makannya. Jika gaya Surakarta pengantin saling menyuapi, dalam gaya Jogja keduanya makan sendiri-sendiri.
Terakhir adalah sungkeman, momen kedua pengantin bersimpuh di hadapan orangtua untuk memohon doa restu. Sungkeman juga jadi simbol rasa hormat dan terima kasih anak kepada orangtuanya yang telah membesarkan, serta mendidik mereka hingga saat pernikahannya.