Di Era Gadget, Komunitas Mraen Mimpi Ajak Anak Suka Buku Sejak Dini

- Mraen Mimpi menemukan banyak anak usia SD yang belum lancar membaca
- Peran fasilitator komunitas dalam menumbuhkan minat baca
- Upayakan gelar lapak buku gratis sampai siap temani siapa pun buka perpustakaan
Kulon Progo, IDN Times - Gawai saat ini bukanlah barang mewah. Siapa pun bisa memakai dan memilikinya, tak terkecuali anak-anak yang tentunya membawa dampak positif maupun negatif. Dan, salah satu efek dari gawai di tangan usia yang belum tepat ini adalah menurunkan angka literasi di tengah masyarakat Indonesia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, setidaknya ada 1,15 juta penduduk usia 10 tahun ke atas yang buta huruf, dan sebagian berasal dari kelompok usia produktif. Hal ini tentu disayangkan mengingat tidak ada keseimbangan antara kemajuan teknologi dengan kemampuan literasi. Hal senada disampaikan oleh Muhammad Sidqi Irsyadi, pegiat komunitas Mraen Mimpi yang menyadari bahwa anak-anak kini lebih suka menggulir layar ketimbang membalik lipatan kertas.
1. Mraen Mimpi menemukan banyak anak usia SD yang belum lancar membaca

Mraen Mimpi adalah komunitas literasi yang sudah terbentuk sejak tahun 2017 dengan berbagai program menarik seperti safari literasi gratis, pinjam buku gratis, dan sebagainya. Mereka kerap menggelar lapak membaca buku di lokasi yang berbeda-beda hingga mereka menyadari bahwa tak sedikit anak-anak yang masih kesulitan membaca lancar.
"Biasanya, kami mendapat cerita dari tuan rumah (tempat menggelar acara membaca). Misalnya si A, belum bisa membaca padahal usianya seharusnya sudah bisa, sudah SD," kata Irsyad saat diwawancarai melalui WhatsApp pada Jumat (4/7/2025).
Ia lalu menjelaskan jika biasanya sebelum memulai program kolaborasi, ada briefing antar panitia yang mewanti-wanti kalau akan ada satu-dua anak turut hadir tapi belum bisa membaca dan minta untuk didampingi. Sedangkan jika saat mengadakan program membaca buku gratis seperti di Alun-alun Wates, pihak orangtua sendiri yang bercerita kalau anaknya belum pandai membaca.
2. Peran fasilitator komunitas dalam menumbuhkan minat baca

Menurut Irsyad, ada korelasi antara pemakaian gawai yang berlebihan dengan kurangnya kecakapan membaca.
"Kalau saya lihat, rata-rata masih dikarenakan HP. Kalau pun untuk menengah ke bawah mereka juga sudah main HP meski pun bukan main HP-nya sendiri," ucap lelaki yang berasal dari Kabupaten Jombang, Jawa Timur tersebut.
Irsyad menambahkan bahwa peran orangtua cukup penting. Kesadaran orangtua diharapkan hadir untuk bersedia belajar soal parenting.
"Emosinya anak-anak ini kemudian dialihkannya ke gawai yang menurut saya menjadi masalah juga," imbuh dia
Irsyad mengaku bahwa kasus belum lancar membaca yang pernah dilihatnya langsung adalah anak-anak usia masuk sekolah dasar (SD). "Rata-rata usia TK sampai SD kelas 1, 2, sampai 3. Bahkan ada juga yang kelas 4 atau 5 SD belum bisa membaca," tuturnya.
Dari seringnya menggelar lapak membaca di berbagai tempat, Irsyad jadi mengamati tingkah laku anak-anak yang belum bisa membaca ini dan memahami bahwa akhirnya, mereka kebanyakan hanya melihat gambar yang terdapat pada buku. Di sinilah peran fasilitator dari Komunitas Mraen Mimpi. Tidak hanya sebatas menggelar dan menata buku, tapi membantu menceritakan tentang isi dan inti cerita di dalamnya.
3. Upayakan gelar lapak buku gratis sampai siap temani siapa pun buka perpustakaan

Hal yang kini tengah dilakukan Irsyad dan tim Mraen Mimpi dalam mengupayakan peningkatan literasi anak bangsa yaitu melalui program Safari Mraen Mimpi dan buka lapak. Safari Mraen Mimpi misalnya, diadakan di berbeda-beda tempat yang meski diakui oleh Irsyad belum bisa jangka panjang karena bergantung dengan tuan rumah yang berkolaborasi dengan mereka.
Atau buka lapak baca buku gratis yang telah rutin dilakukan di Alun-alun Wates tiap Minggu pagi yang dimulai sejak awal tahun 2025. Tak sampai di situ, Irsyad mengatakan bahwa ia juga siap membantu siapa pun yang ingin membuka perpustakaan baik melalui sistem pinjam atau donasi buku.
Menurut Irsyad, literasi di kalangan anak-anak bisa ditingkatkan dengan penambahan jumlah perpustakaan yang dimulai dari yang paling mendasar seperti di tingkatan desa hingga jam operasional perpustakaan menjadi 24 jam. Anak-anak pun perlu didekatkan dengan buku melalui cara menyenangkan hingga akhirnya terbentuk kebiasaan suka membaca.
"Kalau bisa perpus itu 24 jam buka. Soalnya kalau kita ditanya bukanya kapan jam berapa, kami 24 jam buka. Kita malam pun kalau ada yang datang biasanya juga welcome, gak kita tolak," ujar dia.
Selain itu, dia juga berharap perpustakaan semakin banyak sehingga anak semakin mudah mengaksesnya. "Jumlah anak dengan jumlah perpus yang ada, yang mungkin sesuai standar belum sesuai. Dan menambah saran tadi, memperbanyak jumlah perpus lagi," tutup dia.