Kenapa Orang Tionghoa Tak Boleh Punya Tanah di Jogja? Ini Sejarahnya

- Larangan orang Tionghoa memiliki tanah di Jogja berdasarkan pada kebijakan Instruksi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Nomor K.898/I/A/75
- Larangan ini sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda dan membuat Jogja kerap disebut melanggar hak hingga dianggap rasis.
- Kemunduran ekonomi warga Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat menjadi salah satu pemicu Perang Jawa yang dipimpin langsung oleh Pangeran Diponegoro.
Sejak lama ada rumor berkembang tentang adanya larangan orang Tionghoa dan keturunannya tak diizinkan memiliki tanah di Jogja. Bukan tanpa alasan, berita ini pun sudah ada sejak bertahun lalu walau sebatas bisik-bisik tetangga.
Nyatanya, hal ini bukan isapan jempol belaka. Larangan ini sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda dan membuat Jogja kerap disebut melanggar hak hingga dianggap rasis. Nah, untuk mengetahui alasan di balik larangan tersebut dan sejarahnya, yuk, simak ulasannya berikut ini!
1. Didasari oleh kebijakan Instruksi Gubernur DIY
Larangan orang Tionghoa memiliki tanah di Jogja berdasarkan pada kebijakan Instruksi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Nomor K.898/I/A/75 yang isinya mengenai warga non pribumi tidak diperbolehkan mempunyai hak kepemilikan tanah di Yogyakarta khususnya warga keturunan Tionghoa.
Menurut jurnal karya Maulana, Afan Husni, "Larangan Kepemilikan Tanah Bagi WNI Keturunan Tionghoa di Yogyakarta Perspektif Hukum Positif" Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam (Vol. 1, No. 2) Desember 2021: halaman 198, adanya dendam dari Sultan terhadap warga Tionghoa sudah terjadi sejak zaman Hindia Belanda yang dipicu karena banyak masyarakat setempat yang menjual tanahnya kepada perusahaan-perusahaan yang dipimpin nonpribumi dan saat itu dipegang oleh Gubernur Meester in de Rechten Herman William Daendels. Dari situ, tercipta banyak pekerja tanam paksa.
Tak ingin terus merugikan rakyatnya, diterbitkanlah peraturan yang bernaman ground-vervreemdings-verbod yang isinya larangan menjual tanah kepada warga asing bagi pribumi.
2. Kemunduran perekonomian rakyat dan perbudakan

Tidak sampai di situ, kemunduran ekonomi warga Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat menjadi salah satu pemicu Perang Jawa yang dipimpin langsung oleh Pangeran Diponegoro dan berlangsung dari tahun 1825-1830.
Dari jurnal yang sama, disebutkan bahwa perang tersebut muncul karena etnis Tionghoa memeras warga pribumi melalui tenaga kerja sewa tanah dan pajak jalan.
Dilanjut dengan pemberlakuan Politik Liberal yang muncul tahun 1870 yang menyebabkan berdirinya banyak perusahaan asing pada bidang pertanian. Setidaknya 80 persen lahan subur diambil alih oleh perusahaan asing dan membuat para petani pemilik lahan berubah status menjadi pekerja tanpa upah.
3. Keturunan Tionghoa pernah mendukung Belanda untuk kembali menjajah Indonesia
Ada alasan lain kenapa orang Tionghoa tidak boleh punya tanah di Jogja. Dikutip dari laman Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan, pada tahun 1948 sejarah mencatat bahwa sebagian besar keturunan Tionghoa justru memilih mendukung pasukan Belanda untuk kembali menjajah Indonesia.
Juga, komunitas China di Jogja memberi sokongan kepada Belanda yang membuat Sultan Hamengku Buwono IX mencabut hak kepemilikan tanah terhadap etnis China di Yogyakarta hingga hanya diizinkan memiliki hak guna bangunan (HGB) dalam kurun waktu tertentu.
Karena keputusan ini, Yogyakarta pernah mendapat kecaman sebagai kota antitoleransi hingga digugat berbagai pihak karena bersifat diskriminatif. Apalagi di mata hukum, semua orang adalah setara dan berhak mendapatkan kesempatan dan kemudahan.
Namun, seperti yang tertulis dalam jurnal Afan Husni (2021: 207) bahwa Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa bisa mengatur hal-hal tertentu termasuk perihak tanah seperti yang terterang dalam Undang-undang Republik Indonesia nomor 13 tahun 2012 dalam Pasal 7. Dengan begitu, tidak ada yang bisa mengajukan judicial review.