Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi Yogyakarta di zaman dulu (dok. Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Istimewa Yogyakarta)

Intinya sih...

  • Yogyakarta adalah daerah otonom setingkat provinsi dengan ibukota di Yogyakarta, terdiri dari 4 kabupaten dan 1 kota.
  • Pembentukan DIY sebagai provinsi tersendiri berawal dari Perjanjian Gianti pada 13 Februari 1755 yang membagi Negara Mataram menjadi dua.
  • Yogyakarta mendapatkan status Daerah Istimewa karena perjuangan Sultan Hamengku Buwono I hingga ditetapkan UU Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY.

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) atau yang dikenal juga sebagai Jogja, Yogya, atau Ngayogyakarta adalah salah satu daerah otonom setingkat provinsi yang ada di Indonesia. Dengan ibukota yang berada di Yogyakarta, provinsi ini terdiri dari 4 kabupaten dan 1 kota.

Memiliki status Daerah Istimewa, Jogja menjadi salah satu daerah yang memiliki sejarah panjang dan penting di Indonesia. Daerah ini berbatasan langsung dengan Samudera Hindia di selatan dan Provinsi Jawa Tengah. Lantas, kenapa Jogja tidak termasuk Jawa Tengah?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus memahami sejarah dan latar belakang pembentukan DIY sebagai provinsi tersendiri. Yuk simak penjelasannya di bawah ini!

1. Sejarah berdirinya Kota Yogyakarta

Ilustrasi Jogja (Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta)

Merujuk laman resmi Pemerintah Kota Yogyakarta, berdirinya Kota Yogyakarta berawal dari adanya Perjanjian Gianti pada 13 Februari 1755. Perjanjian ini ditandatangani oleh Kompeni Belanda di bawah tanda tangan Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jendral Jacob Mossel.

Isi Perjanjian Gianti menyatakan bahwa Negara Mataram dibagi menjadi dua yaitu setengah masih menjadi Hak Kerajaan Surakarta, sedangkan setengah lagi menjadi Hak Pangeran Mangkubumi.

Dalam Perjanjian Gianti, Pengeran Mangkubumi juga diakui menjadi Raja atas setengah daerah Pedalaman Kerajaan Jawa dengan Gelar Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alega Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khalifatullah. Adapun daerah-daerah yang menjadi kekuasaannya sebagai berikut:

  • Mataram (Yogyakarta)
  • Pojong
  • Sukowati
  • Bagelen
  • Kedu
  • Bumigede

Kemudian ditambah daerah mancanegara berikut:

  • Madiun
  • Magetan
  • Cirebon
  • Separuh Pacitan
  • Kartosuro
  • Kalangbret
  • Tulungagung
  • Mojokerto
  • Bojonegoro
  • Ngawen
  • Sela
  • Kuwu
  • Wonosari
  • Grobogan.

Setelah selesai Perjanjian Pembagian Daerah itu, Pengeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I menetapkan bahwa Daerah Mataram yang ada di dalam kekuasaannya itu diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dengan ibukotanya di Ngayogyakarta (Yogyakarta). Ketetapan ini diumumkan pada 13 Maret 1755.

2. Pemilihan Yogyakarta sebagai ibu kota

Tugu Jogja (Pinterest/Wikaapedia)

Yogyakarta dipilih sebagai ibu kota dan pusat pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I lantaran hutan yang disebut Beringin. Di sana, ada sebuah desa kecil bernama Pachetokan. Tak hanya iitu, di sana terdapat pula suatu pesanggrahan yang dinamai Garjitowati. Tempat ini dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II dulu dan namanya diubah menjadi Ayodya.

Setelah penetapan lokasi ibukota diumumkan, Sultan Hamengku Buwono I segera memerintahkan kepada rakyat untuk membabat hutan tersebut untuk didirikan Keraton pada 1755. Setahun kemudian, tepatnya pada 7 Oktober 1756, Sultan Hamengku Buwono I menempati Istana Baru sebagai peresmiannya. Langkah ini juga yang mengawali berdirinya Kota Yogyakarta atau dengan nama utuhnya Negari Ngayogyakarta Hadiningrat.

3. Mengapa Yogyakarta mendapatkan gelar Daerah Istimewa?

Malioboro Jogja (Pinterest/NoviSujono)

Asal mula Yogyakarta mendapatkan gelar sebagai Daerah Istimewa berasal dari masa penjajahan kolonial Belanda. Melansir Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Istimewa Yogyakarta, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman diberikan status sebagai Kerajaan Vasal atau Zelfbestuurende Landschappen oleh pemerintah kolonial Belanda.

Secara keseluruhan, ada empat kerajaan yang mendapatkan status tersebut, yaitu Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran Surakarta dan Kadipaten Pakualaman Yogyakarta. Ini sekaligus menunjukkan bahwa kerajaan-kerajaan tersebut memiliki status sebagai entitas kerajaan yang independen dalam hal pemerintahan internalnya, selama periode penjajahan oleh Belanda.

Tak hanya itu, Belanda juga membagi Pulau Jawa menjadi tiga provinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Beberapa tahun kemudian, Belanda membagi Jawa Tengah menjadi lima wilayah yang terdiri dari Semarang, Pati, Kedu, Banyumas, dan Pekalongan. Pembagian inilah yang menjadi cikal bakal Karesidenan. 

Adapun, saat kependudukan Jepang di Indonesia pada 1942-1945, mereka juga mengakui keberadaan kedua kerajaan tersebut dengan tetap mempertahankan status istimewa yang disebut sebagai Kooti. Selain itu, Jawa tetap terdiri atas tiga provinsi di luar Surakarta dan Yogyakarta. 

4. Alasan Jogja tidak termasuk Jawa Tengah

Keraton Yogyakarta (dok. Balai Pelestarian Cagar Budaya Kota Yogyakarta)

Berada di bawah kependudukan Jepang, Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman diberi kewenangan untuk mengatur wilayahnya sendiri. Pada 17 Agustus 1945, hanya dua hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Pangeran Purboyo mengusulkan agar Yogyakarta dijadikan daerah otonom penuh dalam sidang PPKI pada 19 Agustus 1945.

Keputusan itu menghasilkan pemertahanan status quo Kooti hingga terbitnya regulasi tentang pemerintahan daerah. Beberapa hari setelahnya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII menerima piagam pengangkatan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Propinsi DIY dari Presiden RI.

Pada 5 September 1945 Hamengku Buwono IX mengeluarkan amanat yang menyatakan bahwa daerah Kesultanan dan daerah Pakualaman merupakan Daerah Istimewa yang menjadi bagian dari Republik Indonesia menurut pasal 18 UUD 1945. Selanjutnya, pada hari yang sama, Sri Paduka Paku Alam VIII juga mengeluarkan dekret serupa.

Dekret yang dikeluarkan Paku Alam VII menyatakan baha wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, termasuk Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman, bersama dengan seluruh kabupaten dan kota di dalamnya, akhirnya bergabung dengan kekuasaan Kesultanan Yogyakarta.

Kemudian pada 30 Oktober 1945, Hamengku Buwono IX kembali mengeluarkan amanat kedua yang menyatakan bahwa pelaksanaan Pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta akan dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII bersama-sama Badan Pekerja Komite Nasional.

Kota Yogyakarta yang meliputi daerah Kasultanan dan Pakualaman baru menjadi Kota Praja atau Kota Otonomi dengan lahirnya Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 1947.

Pasal 1 UU tersebut menyatakan, Kabupaten Kota Yogyakarta yang meliputi wilayah Kasultanan dan Pakualaman serta beberapa daerah dari Kabupaten Bantul yang sekarang menjadi Kecamatan Kotagede dan Umbulharjo ditetapkan sebagai daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Daerah tersebut dinamakan Haminte Kota Yogyakaarta.

5. Yogyakarta setelah konferensi Meja Bundar

Ilustrasi Yogyakarta di zaman dulu (dok. Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Istimewa Yogyakarta)

Setelah Konferensi Meja Bundar (KMB), Belanda mengakui Indonesia sebagai Republik Indonesia Serikat. Hasilnya berimbas ke status Yogyakarta yang pada akhirnya menjadi Ibu Kota Republik Indonesia sejak 4 Januari 1946 hingga 17 Desember 1949.

Namun saat itu, Yogyakarta hanya menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS) yang pusat pemerintahannya berada di Jakarta. Kondisi ini berlangsung hingga 17 Agustus 1950, ketika UU Nomor 3 Tahun 1950 secara resmi diberlakukan.

Mulanya, UU tersebut membahas pembentukan DIY dengan tujuh pasal dan satu lampiran daftar kewenangan otonomi. Regulasi ini mengatur beberapa hal, seperti wilayah, ibu kota, jumlah anggota DPRD, kewenangan, dan aturan peralihan. Selain itu, dalam UU Nomor 3 Tahun 1950 disebutkan secara jelas bahwa Yogyakarta adalah Daerah Istimewa setingkat provinsi, tetapi bukan provinsi.  Meskipun istilahnya tampak mirip, terdapat perbedaan konsekuensi hukum dan politik. Hal ini terutama terletak dalam hal kepala daerah dan wakilnya.

Walaupun DIY tidak menganut sistem monarki konstitusional, namun Yogyakarta mengadakan pemilihan umum pertamanya di Indonesia untuk memilih anggota legislatif di tingkat Daerah Istimewa, kabupaten, dan kota pada 1951. Hal ini sekaligus menandai langkah penting dalam perkembangan politik Yogyakarta setelah Konferensi Meja Bundar.

Berdasarkan dasar pasal 18 UUD 1945, DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta menghendaki agar kedudukan sebagai Daerah Istimewa untuk Daerah Tingkat I tetap lestari. 

“Pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara dan hak-hak asal-usul dalam Daerah-daerah yang bersifat Istimewa" bunyi Pasal 18 UUD 1945.

Dengan demikian, kedudukan Yogyakarta sebagai  daerah istimewa telah dipenuhi dengan ditetapkan UU Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY.  Inilah alasan mengapa Yogyakarta bukan menjadi bagian dari Provinsi Jawa Tengah.

Editorial Team