Kenapa di Jogja Tidak Ada Pemilihan Gubernur? Begini Asal Muasalnya
Intinya Sih...
- Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) hanya mengadakan pemilihan Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota.
- Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Pakualaman memiliki tata kepemimpinan berdasarkan garis keturunan sejak kemerdekaan.
- Gubernur dan Wakil Gubernur DIY ditetapkan langsung oleh presiden bukan melalui pemilihan umum seperti wilayah lainnya.
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Dalam waktu dekat, berbagai wilayah di Indonesia akan menggelar pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara serentak, mulai dari gubernur hingga bupati dan wali kota. Namun, berbeda dengan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang tidak mengadakan pemilihan gubernur laiknya provinsi lain dan hanya menghelat pemilihan Bupati dan Wakil Bupati di empat kabupatennya plus pemilihan Walikota dan Wakil Walikota untuk wilayah Kota Jogja.
Kamu mungkin bertanya-tanya, kenapa di Jogja tidak ada pemilihan gubernur? Lantas bagaimana gubernur DIY ditetapkan? Biar gak penasaran, simak penjelasannya berikut!
1. Sejarah cikal bakal Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa
Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat sudah berdiri sejak tahun 1775 dan didirikan oleh Pangeran Mangkubumi atau yang juga dikenal sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono I. Kemudian pada tahun 1813, Pangeran Notokusumo yang masih bersaudara dengan Sultan Hamengku Buwono II mendirikan Kadipaten Pakualaman yang mana kedua kerajaan tersebut duakui oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai kerajaan dan memiliki hak mengatur rumah tangga sendiri.
Setelah kemerdekaan, tepatnya setelah Amanat 5 September 1945 yang dikeluarkan oleh Sri Sultan HB IX dan Paku Alam VIII yang menyatakan bahwa Yogyakarta adalah bagian dari Indonesia. Hal ini menandai bahwa Yogyakarta terdiri atas dua gabungan kerajaan, yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman.
Dan selaiknya kerajaan lain, Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Pakualaman memiliki tata kepemimpinan yang berdasarkan garis keturunan dan hal ini berlangsung sampai sekarang.
2. Dipilih langsung oleh Presiden sesuai dengan syarat yang berlaku
Menurut laman resmi Pemerintah DIY, sehari setelah Yogyakarta menggabungkan diri ke dalam Republik Indonesia, pemerintah pusat mengeluarkan Piagam 19 Agustus 1945. Isinya bentuk penghargaan atas bergabungnya Yogyakarta yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno. Penghargaan ini sekaligus memperkuat kedudukan Sri Sultan HB IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII dalam memimpin Yogyakarta.
Hal ini diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta Bab VI Pasal 18 ayat 1C yang berbunyi:
"Bertakhta sebagai Sultan Hamengku Buwono untuk calon Gubernur dan bertakhta sebagai Adipati Paku Alam untuk calon Wakil Gubernur."
Meski begitu, Sultan dan Adipati yang terpilih sebagai gubernur dan wakil gubernur harus memenuhi syarat yang telah ditetapkan pusat. Dan, Gubernur dan Wakil Gubernur DIY ditetapkan langsung oleh presiden bukan melalui pemilihan umum seperti wilayah lainnya.
Pelantikan Sultan dan Adipati yang bertahta sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY tidak serta merta dilangsungkan begitu saja. Ada proses panjang berbagai tahapan yang harus dilalui dan dimulai dengan pemberitahuan dari DPRD DIY kepada Gubernur dan wakil Gubernur serta kasultanan dan kadipaten tentang masa tenggang masa jabatan setidaknya tiga bulan sebelum berakhir.
Selanjutnya pihak Kasultanan mengajukan Sultan Hamengku Buwono yang bertakhta sebagai calon Gubernur dan Kadipaten mengajukan Adipati Paku Alam yang bertakhta sebagai calon Wakil Gubernur. Kasultanan dan Kadipaten diberikan waktu 30 hari sejak surat DPRD diterima.
Surat pencalonan calon gubernur akan ditanda tangani Penghageng Kawedanan Hageng Panitrapura sedangkan surat pencalonan untuk calon wakil gubernur ditanda tangani oleh Penghageng Kawedanan Hageng Kasentanan.
Tidak berakhir di situ, DPRD DIY akan membentuk panitia khusus atau Pansus yang bertugas menyusun tata tertib penetapan gubernur dan wakil gubernur yang terdiri dari perwakilan fraksi-fraksi. Tugas pansus setelahnya adalah memverifikasi masing-masing calon yang kemudian pansus penetapan menetapkan calon gubernur dan calon wakil gubernur melalui berita acara untuk selanjutnya diserahkan kepada pimpinan DPRD DIY.
Dari situ, DPRD DIY mengagendakan rapat paripurna atau rapur yang agendanya adalah pemaparan visi, misi, dan program calon Gubernur, yang selanjutnya fraksi-fraksi akan memberikan tanggapan, saran, dan masukan atas visi dan misi yang telah disampaikan. Proses dilanjutkan dengan DPRD DIY menetapkan Sultan Hamengku Buwono dan Adipati yang bertakhta sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur.
Terakhir, DPRD mengusulkan kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Presiden untuk pengesahan penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih. Lalu Presiden akan mengesahkan berdasarkan usulan Mendagri.
Baca Juga: Kenapa di Jogja Tidak Boleh Keluar Malam? Begini Alasannya
3. Menganut sistem desentralisasi asimetris
Ciri khas dari Yogyakarta adalah tata pemerintahannya yang menganut sistem desentralisasi asimetris. Artinya dalam hal ini menurut laman Biro Tata Pemerintahan Setda DIY adalah perpaduan antara birokrasi modern (sistem nasional) dan institusi tradisional (kasultanan dan pakualaman) sebagai salah satu konsekuensi atas menjadi daerah istimewa.
Berperan langsung Sultan dan Adipati sebagai kepala pemerintahan dapat menjaga marwah budaya Yogyakarta agar tidak hilang ditelan zaman tapi tetap sesuai dengan peraturan modern yang berlaku di Indonesia.
Dapat disimpulkan dari penjelasan kenapa di Jogja tidak ada pemilihan gubernur, bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur akan diisi oleh Sultan dan Adipati yang bertakhta secara turun temurun. Meski begitu, calon gubernur dan wakilnya wajib memenuhi syarat yang telah ditetapkan pusat.
Baca Juga: Kenapa Jogja Disebut Daerah Istimewa? Ini Sejarahnya
IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.