Sejarah Geger Sepehi, Penjarahan Keraton Yogyakarta oleh Inggris

Peristiwa besar yang mengubah sejarah Keraton Yogyakarta

Ketika Inggris berupaya menguasai Pulau Jawa, terjadi pertempuran antara pasukan Inggris di bawah kepemimpinan Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffless dengan Keraton Yogyakarta pada 19-20 Juni 1812. Peristiwa ini dikenal sebagai Geger Sepehi yang terjadi pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono II dan Sunan Paku Buwono IV.

Tidak hanya menaklukkan Keraton Yogyakarta, Inggris juga menjarah berbagai harta benda penting milik kasultanan. Berikut ini penjelasan singkat mengenai sejarah Geger Sepehi yang mengubah tatanan di Keraton Yogyakarta.

1. Latar belakang terjadinya Geger Sepehi

Sejarah Geger Sepehi, Penjarahan Keraton Yogyakarta oleh InggrisSultan Hamengku Buwono II (wikimedia.org)

Dilansir laman resmi Keraton Yogyakarta, latar belakang terjadinya Geger Sepehi dimulai ketika Prancis dan Belanda yang sedang melawan Inggris mencari sosok untuk menjadi Gubernur Jenderal di Jawa yang tugasnya menjaga Pulau Jawa agar tak jatuh ke tangan Inggris. Pilihan ini kemudian jatuh pada Daendels yang menerapkan berbagai kebijakan yang merugikan rakyat Mataram. Misalnya tanah rakyat yang diambil paksa pemerintah kolonial, lalu disewakan pada orang berduit, sehingga rakyat menjadi buruh di tanahnya sendiri.

Sri Sultan Hamengku Buwono II jelas menentang aturan-aturan Daendels. Sayang, bukan disambut dengan baik justru Daendels mengirim pasukan Belanda ke Yogyakarta dan menekan Sultan untuk menyerahkan kekuasaan pada Putra Mahkota. Walau begitu, Sri Sultan Hamengku Buwono II tetap tinggal di keraton dan memegang segel kerajaan.

Tak lama, Daendels digantikan posisinya oleh Jan Willem Jansens pada bulan Mei 1811. Pada 4 Agustus 1811, pasukan Inggris menyerbu Batavia yang akhirnya membuat Jawa dikuasai oleh Inggris. Karena perpindahan kekuasaan, Gubernur Jenderal Inggris di Kalkuta yang menjadi pusat koloni Inggris, Lord Minto, menunjuk Thomas Stamford Raffles sebagai Letnan Gubernur di Jawa yang baru. Hal ini lantas dimanfaatkan Sultan Hamengku Buwono II untuk kembali menjadi raja Mataram.

Tak tinggal diam, pada November 1811 Raffles menunjuk John Crawfurd sebagai Residen Yogyakarta. Selain itu Raffles juga mengeluarkan berbagai kebijakan terkait pengelolaan keuangan dan pertanahan yang tak jauh berbeda dengan masa pendudukan Daendels. Sri Sultan Hamengkubuwono II tak berkenan dan memunculkan berbagai pertentangan yang dilihat Raffles sebagai ancaman. Ia pun mengirim pasukan yang dipimpin oleh Colonel Robert Rollo Gillespie untuk menyerang Yogyakarta.

2. Peristiwa awal penyerbuan kolonial Inggris dan penangkapan Sri Sultan Hamengkubuwono II

Sejarah Geger Sepehi, Penjarahan Keraton Yogyakarta oleh Inggrisgeger sepehi (kratonjogja.id)

Geger Sepehi juga dikenal sebagai Geger Sepoy. Dinamai Geger Sepoy karena adanya pasukan Sepoy yang berasal dari daerah jajahan Inggris di India. Dilansir laman Dinas Kebudayaan Kota Jogja, penyerbuan ini melibatkan 1.200 prajurit Inggris dan Sepoy, serta 800 prajurit bantuan dari Legiun Mangkunegaran yang mendukung pemerintah kolonial.

Tidak diketahui jumlah korban jiwa dari pihak Keraton Yogyakarta. Namun korban jiwa dari pasukan Sepoy sebanyak 23 orang tewas, termasuk seorang jenderal dan 74 orang terluka. Diketahui bahwa perencanaan dari pasukan Inggris sangat matang dan dimulai pada 18 Juni 1812 saat Inggris menyulut meriam karena diplomasi antara keraton dan Inggris berakhir gagal.

Pada hari yang sama, pertahanan Keratin Yogyakarta roboh dan pasukan Sepoy masuk dalam Plengkung Tarunasura, Nirbaya, sampai Alun-alun Utara. Sri Sultan Hamengku Buwono II ditangkap beserta pangeran lain yang tersisa dan Keraton Yogyakarta berhasil diduduki.

Baca Juga: Pameran Sumakala Kisahkan Kembali Masa Pasca-Geger Sepehi

3. Perpindahan kepemimpinan di Keraton Yogyakarta

Sejarah Geger Sepehi, Penjarahan Keraton Yogyakarta oleh InggrisSri Sultan Hamengku Buwono III (kratonjogja.id)

Serangan terus berlanjut selama tiga hari dengan perang-perang kecil di sekitar keraton. Perang juga mengubah tatanan lama Kasultanan Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono II dilengserkan lalu dibuang ke Penang Malaya, kemudian diangkat sultan baru. Ini adalah perubahan terbesar yang terjadi akibat Geger Sepehi tersebut.

Meskipun begitu, suksesi jumenengan yang seharusnya dilakukan sesuai adat istiadat hanya dilakukan sesuai dengan kemauan pasukan Inggris. Peresmian yang dilakukan di Loji Residen tersebut juga membuat pemimpin kolonian Inggris, Raffles, sejajar dengan sultan yang baru.

Banyak kebijakan yang pro kolonial yang kemudian dikeluarkan setelah Inggris berhasil menduduki Keraton Yogyakarta. Termasuk mengangkat Pangeran Notokusumo sebagai pemimpin kepangeranan yang merdeka bernama Kadipaten Pakualaman dan dia bergelar Adipati Paku Alam I. Dan yang bergelar sebagai Sultan Hamengku Buwono III adalah Adipati Anom Surojo yang dipaksa tunduk kepada pemerintahan kolonial.

4. Hasil jarahan Inggris terhadap Keraton Yogyakarta

Sejarah Geger Sepehi, Penjarahan Keraton Yogyakarta oleh InggrisPasukan Sepoy (kebudayaan.jogjakota.go.id)

Dampak Geger Sepehi tidak hanya terjadi pada pemerintahan keraton, tapi juga hilangnya harta benda. Seluruh naskah sejarah yang saat itu ada di Keraton Yogyakarta diborong ke Inggris dan kini disimpan di British Library.

Dilansir Historia.id, kolonial Inggris juga menjarah uang senilai 800 ribu dolar Spanyol dan uang tersebut dibagi menjadi dua yaitu untuk membayar tunjangan-tunjangan bagi perwira yang tidak tewas dalam perang dan sebagai Benggala untuk diberikan kepada keluarga perwira dan prajurit.

Karena Babad Sepehi ini juga, Pangeran Notokusomo diberikan status baru sebagai pangeran merdeka dengan gelar Pangeran Paku Alam I. Ia memiliki wilayah sendiri yaitu tanah seluas 4000 cacah yang diambil dari wilayah Yogyakarta. Wilayah ini setara dengan kadipaten dan diberi nama Pakualaman.

5. Dampak-dampak politik pada masyarakat

Sejarah Geger Sepehi, Penjarahan Keraton Yogyakarta oleh InggrisPrasasti Geger Sepoy (instagram.com/kratonjogja)

Terjadi juga kontrak politik antara Hamengku Buwono III dengan Residen John Crawfud yang berisi bahwa Inggris menerima konsesi wilayah yang meliputi Jipang, Kedu, Japan (Mojokerto), Pacitan, dan Grobogan. Hal ini mengakibatkan bupati yang berada di wilayah tersebut dipulangkan ke Yogyakarta dan digantikan bupati-bupati yang pro kolonial Inggris.

Inggris juga menetapkan pajak sewa atas tanah yang digarap penduduk serta menghapus kerja wajib. Bahkan, Inggris juga memberikan kekuasaan kepada kepada orang Cina untuk mengelola pajak yang berakibat menyengsarakan rakyat.

Geger Sepehi tak hanya mengubah tatanan politik dalam Keraton Yogyakarta, tapi seluruh rakyat di bawah pemerintahan keraton. Dan untuk mengenang peristiwa tersebut, dibangunlah Prasasti Geger Sepoy, di Kampung Ketelan Wijilan, Jokteng Lor Wetan, Yogyakarta. Prasasti ini untuk mengenang perjuangan rakyat Mataram dalam melawan penjajah.

Melansir tulisan "Geger Sepehi dan Pengaruh Inggris di Kesultanan Yogyakarta Tahun 1812-1816 M" (Rizky Budi Prasetya Sulton, UIN Sunan Kalijaga: 2020), Geger Sepehi juga disebutkan sebagai latar belakang terjadinya Perang Jawa atau yang juga dikenal dengan Perang Diponegoro. Inggris mengembalikan Jawa kepada Belanda setelah lima memimpin. Hal ini sesuai dengan Perjanjian Wina di tahun 1814 di bawah Gubernur Jendral Belanda, van der Capellen.

Penguasaan asing menjadikan Sultan hanya sebagai boneka yang menjalankan keinginan kolonial. Terlebih setelah wafatnya Sri Sultan Hamengku Buwono III di tahun 1814 dan Hamengku Buwono IV di tahun 1822 dalam usia muda sehingga banyak terjadi kekisruhan di dalam Keraton Yogyakarta.

Baca Juga: 5 Isi Pokok Perjanjian Giyanti yang Memecah Mataram Islam

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya