Profil Masjid Kampus UGM, Berdiri Setelah Suharto Lengser

Dulunya bekas makam, lho!

Yogyakarta, IDN Times - Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, melakukan salat tarawih di Masjid Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM) pada malam 18 Ramadan atau 9 April 2023 lalu. Pengalaman itu pun ia bagikan melalui Twitter. 

"Alhamdulillah di malam 18 Ramadan ini bisa salat tarawih bareng temen-temen mahasiswa dan seluruh civitas akademika UGM. Banyak sekali kenangan yang tercecer di sini. Apalagi waktu Ramadan, sering nyari takjil di masjid ini. Hehehe," cuitnya.

Cuitan tersebut sontak diprotes oleh warganet, mengingat Ganjar lulus pada 1995, sementara Masjid Kampus UGM atau yang kerap disebut Maskam baru diresmikan pada 1999. Lantas, seperti apa sejarah dan profil Maskam UGM? Berikut ulasan lengkapnya.

1. Menjadi wadah dari gerakan keagamaan Islam di UGM

Profil Masjid Kampus UGM, Berdiri Setelah Suharto LengserIlustrasi Masjid Kampus UGM (unsplash.com/@rumahzisugm)

Sejatinya, gerakan keagamaan yang terjadi di seputar UGM telah lama terjadi. Kegiatan tersebut juga dikaitkan dengan berdirinya masjid di kampus-kampus lain seperti saat Presiden Soekarno di akhir kekuasaannya mendorong ITB untuk membuat masjid yang kemudian lokasinya berhadapan dengan kampus pada tahun 1972. Juga, Masjid UI yang dibangun sebagai peringatan atas kematian mahasiswa yang terbunuh saat demo pada tahun 1965.

Pada saat itu kegiatan keagamaan yang belum memiliki wadah khusus menggunakan gedung Gelanggang Mahasiswa UGM bersamaan dengan kegiatan lainnya. Alhasil, lama kelamaan gedung tersebut jadi tak bisa menampung lebih banyak orang hingga tercetusnya pembangunan masjid oleh Prof. Koesnadi Hardjasumantri selaku rektor UGM. Pun, gagasan tersebut juga dapat terlaksana di saat klimaksnya gerakan reformasi di mana UGM adalah salah satu inisiator dan pusat dari gerakan.

2. Penentuan lokasi masjid yang panjang

Profil Masjid Kampus UGM, Berdiri Setelah Suharto LengserIlustrasi Masjid Kampus UGM (unsplash.com/@rumahzisugm)

Hal pertama yang dilakukan dalam pembangunan Masjid Kampus UGM adalah penentuat lokasi yang tepat. Tak ada panitia khusus untuk menentukannya, melainkan hanya Prof. Koesnadi Hardjasoemantri dan seorang dosen muda, Syaukat Ali. Lokasi pertama yang tinjau ada di sebelah Utara Fakultas Teknik yang ternyata di waktu yang bersamaan tengah dibangun masjid yang kini dikenal dengan nama Masjid Siswa Graha.

Tak mungkin membangun masjid yang saling berdekatan, keduanya menuju lokasi komplek makam Tionghoa yang ada di sebelah Timur UGM dan tanah tersebut berstatus Sultan Ground atau tanah Keraton. Tentunya ada berbagai persoalan yang harus dihadapi, mulai dari pemindahan makam dan perizinan.

Perealisasian pendirian masjid kemudian dilaksanakan oleh Prof. Koesnadi yang mengumpulkan beberapa mahasiswa arsitek untuk membuat desain masjid terlebih dahulu. Baru kemudian desain dan perencanaa lebih matang, Prof. Adnan selaku rektor berikutnya mengeluarkan SK kepanitiaan dengan Prof. Koesnadi Hardjasoemantri sebagai ketua panitia pembangunan masjid.

Sayangnya, realisasi pembentukan makam tak semudah yang dibayangkan. Meski sejatinya makam Tionghoa tersebut tidak lagi aktif atau tak lagi digunakan oleh permakaman, PUKJ atau Perkumpulan Urusan Kematian Jogjakarta merasa keberatan apabila makam dipindahkan karena selain menyangkut pemindahan, juga berhubungan dengan masalah ahli waris dari makam-makam tersebut. Di sisi lain, pihak Keraton selaku pemilik lahan tak masalah dengan penggunaan lahan sebagai masjid.

Setelah melakukan perembukan hingga mencari lokasi pengganti yang akhirnya bertempat di Piyungan, dilakukan kerja bakti dalam pemindahan makam serta pencarian ahli waris untuk mendapat persetujuan. Dan, setidaknya terdapat 1.800 makam yang harus dipindah menggunakan cara manual, juga memakan waktu berbulan-bulan mulai dari cara pencarian ahli waris, pendataan, hingga pemindahannya.

3. Penentuan arah kiblat saat Presiden Suharto Lengser

Profil Masjid Kampus UGM, Berdiri Setelah Suharto LengserIlustrasi Masjid Kampus UGM (unsplash.com/@rumahzisugm)

Mengutip dari laman Masjid Kampus UGM, penentuan arah kiblat masjid dilakukan tepat saat Presiden Suharto lengser, yakni tanggal 21 Mei 1998. Penentuan arah kiblat ini melibatkan berbagai pihak, yakni Departemen Agama RI (Depag) dan tim dari jurusan Teknik Geodesi UGM.

Ketika kiblat telah ditentukan, pembangunan masjid ditandai dengan kegiatan peletakan batu pertama yang pada saat itu hanya dihadiri oleh panitia pembangunan. Pada saat itu, pembangunan masjid hanya berbekal Rp60 juta sementara dana sebelumnya telah digunakan untuk memindahkan makam dari lokasi yang akan digunakan masjid.

Dalam proses pembangunan Masjid Kampus UGM, panitia tidak menggunakan gambar kerja. Desain masjid justru lahir melalui diskusi langsung di lapangan. Walau begitu, meski desain Masjid Kampus berubah tapi struktur bangunan tidak mengalami perubahan.

Baca Juga: Daftar Pembicara Ramadan 1444 H di Masjid Kampus UGM

4. Perujukan nama berdasarkan lokasi berdirinya masjid

Profil Masjid Kampus UGM, Berdiri Setelah Suharto LengserIlustrasi Masjid Kampus UGM (instagram.com/farrasrazin_)

Pemberian nama masjid juga mengalami berbagai persoalan. Seperti nama-nama masjid lain yang mengumpulkan referensi, menyaring, dan memastikan memiliki makna baik, sayang, pada kenyataannya banyak yang mencurigai adanya motif pemberian nama yang merupakan 'titipan' atau 'pesanan' dari pihak tertentu.

Ada pula ide untuk diberikan nama sebagai Masjid Al-lkhlas. Namun, Ichlasul Amal yang saat itu menjabat sebagai rektor tak menyetujuinya karena khawatir adanya stigma nama tersebut dipengaruhi oleh dirinya. Alhasil, sang rektor mengajukan agar diberi nama Masjid Kampus UGM dengan pengamatan bahwa masjid di Timur Tengah pun tak memiliki nama seperti di Indonesia, melainkan hanya merujuk pada lokasi berdirinya masjid.

5. Pengelolaan dan Kegiatan

Profil Masjid Kampus UGM, Berdiri Setelah Suharto LengserPengelolaan dan Kegiatan di Masjis Kampus UGM (unsplash.com/@rumahzisugm)

Takmir yang mengelola Masjid Kampus UGM terdiri atas unsur guru besar, dosen, tenaga pendidik, serta alumni muda dan mahasiswa (yang tergabung dalam Takmir Muda). Takmir Maskam UGM saat ini berada di bawah Badan Pengelola Masjid Universitas Gadjah Mada, badan khusus milik Universitas Gadjah Mada yang mengelola aset masjid di UGM. Sebelumnya, pengelolaan berada di tangan Yayasan Masjid Kampus UGM.

Seperti halnya fungsi masjid pada zaman Rasulullah, Maskam UGM terus berusaha hadir sebagai tempat produksi wacana dan ide-ide segar untuk berbagai permasalahan di masyarakat. Dalam hal ini, Jama’ah Shalahuddin UGM, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) kerohanian Islam dan lembaga dakwah kampus UGM, turut berperan aktif. 

Selain itu, selama bulan Ramadan, Maskam UGM selalu mengadakan berbagai rangkaian kegiatan. Salah satunya adalah  mengundang tokoh agama, akademisi, hingga tokoh nasional untuk mengisi ceramah Tarawih selama satu bulan penuh. Pembicara yang mengisi ceramah berbeda-beda setiap harinya.

Sementara, kegiatan dan layanan yang dilakukan oleh Maskam UGM seperti masjid pada umumnya, meliputi kegiatan ibadah rutin, kajian dan diskusi, serta pelayanan jemaah. Fasilitas Maskam UGM dapat dipinjam oleh jemaah untuk berbagai keperluan, seperti kajian, diskusi, hingga acara pernikahan. Gaya arsitektur Maskam UGM juga menjadikannya sebagai salah satu destinasi yang layak dikunjungi pelancong.

Selain itu, juga terdapat berbagai fasilitas di Maskam UGM. Mulai dari perpustakaan, Kelompok Bermain dan Taman Kanak-Kanak, rumah zakat, hingga menara pandang untuk melihat panorama Yogyakarta.

Baca Juga: Lantunan Al-Qur'an dalam Senyap di Ponpes Tuli Darul A'shom

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya