Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Kisah Sri Sultan Hamengku Buwono II, Diusulkan jadi Pahlawan Nasional

Profil Sri Sultan Hamengku Buwono II (kratonjogja.id)
Intinya sih...
  • Keluarga Trah Sri Sultan Hamengku Buwono II mengajukan dokumen pengangkatan beliau sebagai pahlawan nasional.
  • Sri Sultan Hamengku Buwono II lahir pada 7 Maret 1750 di lereng Gunung Sindoro dan memiliki masa kecil yang sulit karena perang melawan VOC.
  • Setelah menjabat sultan sepuh untuk ketiga kalinya, Sri Sultan Hamengku Buwono II mangkat pada tanggal 3 Januari 1828.

Beberapa waktu lalu, bertepatan dengan 212 tahun peristiwa Geger Sepehi, Keluarga Trah Sri Sultan Hamengku Buwono II bersama masyarakat Pagerejo, Kertek, Wonosobo, Jawa Tengah menyerahkan dokumen pengajuan pahlawan nasional Sri Sultan Hamengku Buwono II, di Kantor Dinas Sosial Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (Dinsos PMD) Wonosobo.

Sosoknya dinilai memiliki peran besar dalam membela bangsa Indonesia hingga pantas menyandang gelar sebagai pahlawan nasional. Nah, supaya makin mengenal sosoknya, mari simak biografi Sri Sultan Hamengku Buwono II berikut ini!

1. Anak dari permaisuri kedua yang tumbuh di pengungsian sebelum jadi putra mahkota

Ilustrasi cikal bakal Kraton Jogja (kratonjogja.id)

Dilansir laman resmi Kraton Jogja, Sri Sultan Hamengku Buwono II lahir di lereng Gunung Sindoro pada 7 Maret 1750. Beliau adalah anak dari permaisuri kedua Sri Sultan Hamengku Buwono I, yang diberi nama kecil Raden Mas (RM) Sundoro. 

Masa kecil RM Sundoro banyak dihabiskan bersama ibunda, Kanjeng Ratu Kadipaten di wilayah pengungsian karena perang melawan VOC. Banyak kejadian tak mengenakan di masa perang ini lah yang membentuk karakter yang keras pada diri RM Sundoro dewasa. 

Ia diketahui baru mulai tinggal dalam Kraton Jogja sejak berstatus putera raja, tepatnya ketika munculnya Perjanjian Giyanti saat Sri Sultan Hamengku Buwono I pindah dalam kraton bersama keluarga besarnya. Selanjutnya pada tahun 1978, beliau dikhitan sekaligus diangkat menjadi putra mahkota. 

2. Sempat gagal menikah dengan putri Paku Buwono III

Ilustrasi Sri Sultan HB I (kratonjogja.id)

Dari laman Kraton Jogja, awal mulanya Sri Sultan Hamengku Buwono I telah menetapkan putera mahkota bahkan sebelum ditandatanganinya Perjanjian Giyanti. Ia adalah Raden Mas Ento yang tak lain adalah putra dari permaisuri pertama, GKR Kencono. 

Sayangnya, RM Ento jatuh sakit dan meninggal dunia sepulangnya dari perjalanan ke Borobudur. Oleh karena itu, status putra mahkota kemudian disematkan kepada RM Sundoro.

RM Sundoro dekat dengan sang ayah, Sri Sultan Hamengku Buwono I. Sejak tinggal bersama, kecintaan dan kepercayaan sang ayah tumbuh kepada RM Sundoro. Bahkan, Sri Sultan Hamengku Buwono I sempat hendak akan menjodohkan RM Sundoro dengan putri keraton Kasunanan Surakarta. 

Bukan tanpa alasan Sri Sultan Hamengku Buwono I mengadakan perjodohan tersebut. Ia masih ingin menyatukan kembali Kerajaan Mataram Islam yang terpecah. Sayang, meski sempat berkunjung ke Surakarta pada tahun 1763 dan 1765, penyatuan dua keluarga tersebut gagal. Putri Paku Buwono III akhirnya menikah dengan putra dari Adipati Mangkunegoro I. 

3. Anak kesayangan Sri Sultan Hamengku Buwono I yang naik takhta

Ilustrasi Kraton Yogyakarta (https://www.kratonjogja.id)

RM Sundoro dewasa mengalami berbagai kejadian sulit. Selain itu, ia menjadi saksi atas terbentuknya Perjanjian Semarang yang terjadi akibat adanya ketegangan antara Keraton Yogyakarta dengan Kasunanan Surakarta yang dipicu pemicunya adalah batas wilayah yang tidak jelas antara dua kerajaan tersebut. Akhirnya, Gubernur VOC Van de Burgh mengusulkan perjanjian ini dan memberi batasan tegas antar wilayah untuk mencegah konflik terulang kembali.

Namun menurut RM Sundoro baik adanya Perjanjian Giyanti atau Perjanjian Semarang, justru mempersempit kekuasaan dan wilayah raja-raja Jawa dan lebih menguntungkan VOC yang luas wilayahnya justru kian besar. RM Sundoro yang makin membenci orang asing justru kian dicintai Sri Sultan Hamengku Buwono karena dinilai bisa mempertahankan sekaligus melindungi Yogyakarta dari jajahan bangsa asing.

Menandai diri sebagai calon pewaris tatha, RM Sundoro mulai melakukan berbagai gebrakan untuk melindungi keraton dari ancaman. Salah satunya yakni menggagalkan pembangunan Benteng Rustenburg oleh Komisaris Nicholas Hartingh dengan cara mengerahkan pekerja dari keraton untuk membangun tembok baluwarti mengelilingi alun-alun utara dan selatan. Dan tak lupa beliau meningkatkan pertahanan dengan menambahkan 13 meriam yang ditempatkan di bagian depan keraton menghadap ke arah benteng Belanda tersebut. 

4. Sosok tegas yang anti Belanda hingga berulangkali diasingkan

Lukisan Herman Willem Daendels tahun 1910 (digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Ketika menyandang gelar sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono II sejak 2 April 1792, beliau kian menunjukkan bahwa dirinya anti Belanda. Beberapa hal yang dilakukan beliau antara lain: 

  • Menolak permintaan wakil VOC yang ingin disejajarkan posisi duduknya ketika acara pertemuan dengan sultan. 
  • Menunjuk sendiri patihnya tanpa melibatkan VOC
  • Menolak tunduk pada Daendeles yang menerapkan bahwa seluruh kerajaan di bekas jajahan VOC sebagai bawahan dari Kerajaan Belanda. 

Karena sifat kerasnya yang dinilai menyulitkan Belanda, Sri Sultan Hamengku Buwono II ditangkap dan kemudian diasingkan ke Pulau Pinang hingga tahun 1815 sedangkan kekayaan Kraton Jogja dijarah. Lagi-lagi dianggap sebagai ancaman besar, tangal 10 Januari 1817 Sri Sultan Hamengku Buwono II dibuang ke Ambon sampai 1826. 

5. Berstatus Sultan Sepuh yang jadi ancaman besar Belanda

Profil Sri Sultan Hamengku Buwono II (kratonjogja.id)

Pada masa pengasingan tersebut, Yogyakarta mengalami tiga kali pergantian kepemimpinan. Dikutip dari laman Kraton Jogja, pasca Sri Sultan Hamengku Buwono III meninggal, ia digantikan oleh putranya sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono IV. Tidak bertahan lama, Sri Sultan Hamengku Buwono IV tutup usia dan digantikan putranya yang masih belia bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono V.

Sebagai sultan sepuh, Sri Sultan Hamengku Buwono II dipulangkan kembali oleh Belanda ke Yogyakarta yang pada masa itu gencar melakukan perlawanan yang dipimpin Pangeran Diponegoro. Belanda berharap adanya sultan sepuh dapat menjadi penengah. Ia lantas diangkat kembali sebagai sultan untuk yang ketiga kalinya pada tanggal 20 September 1826.

Memimpin di usia senja membuat kesehatan Sri Sultan Hamengku Buwono II menurun drastis. Pada tanggal 3 Januari 1828 atau 15 Jumadilakir 1755 kalender Jawa, Sri Sultan Hamengku Buwono II mangkat karena sakit. Beliau dimakamkan di Kotagede karena Perang Jawa yang berkecamuk sehingga tidak memungkinkan untuk dimakamkan di Makam Raja-Raja di Imogiri.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dyar Ayu
Paulus Risang
Dyar Ayu
EditorDyar Ayu
Follow Us