Daftar Patih-Patih Kasultanan Yogyakarta yang Perlu Kamu Tahu

Patih yang memiliki nama remaja Raden Bagus Konting Mertowijoyo ini memiliki peranan yang penting dalam perjuangan melawan VOC. Patih Danurejo melawan VOC menjadi bukti kesetiaannya kepada Pangeran Mangkubumi, setelah perang tersebut berakhir ia terpilih menjadi Pepatih Dalem.

Gelar yang diperoleh oleh Patih Danureja I ketika terpilih menjadi Pepatih Dalem yaitu Kanjeng Raden Adipati Danureja I. Ia juga membantu Sri Sultan Hamengku Buwono I ketika memimpin Kasultanan Yogyakarta dengan sangat baik mulai dari 1755 sampai wafatnya pada 1799.

Kanjeng Raden Adipati Danureja II ini sebelumnya memiliki gelar sebagai Tumenggung Mertonegoro. Ia merpakan cucu dari Kanjeng Raden Adipati Danureja I. Berbeda dengan kakeknya, Kanjeng Raden Adipati Danureja II terkenal dekat dengan pihak kolonial Belanda selama menjabat sejak 1799 hingga 1811.

Karena memiliki perbedaan dalam menghadapi kolonial Belanda, akhirnya Sri Sultan Hamengku Buwono II melengserkan jabatannya. Patih Danureja II  tutup usia di keraton yang kemudian ia dikenal sebagai Patih Seda Kedhaton.

Kiai Adipati Danureja atau Tumenggung Sindunegara merupakan seorang patih yang menggantikan Patih Danureja II tanpa sepengetahuan pihak pemerintah Belanda. Namun, Tumenggung Sindunegara hingga masa jabatannya dari 1811 hingga 1813 tidak pernah secara resmi mendapat gelar Raden Adipati.

Hal tersebut karena Tumenggung Sindunegara pada mulanya ditunjuk sebagai wakil patih. Meski demikian, karena Tumenggung Sindunegara bertindak layaknya patih sesungguhnya, ia pun sering disebut Kiai Adipati dengan nama pensiun Kiai Adipati Purwa.

Memiliki nama kecil pangeran Joko Hadiyosodiningrat atau Sumodipuro, Patih Danureja III juga dikenal sebagai Raden Joyosentiko. Ia menjadi patih pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono IV yang diangkat pada usia 10 tahun.

Selama menduduki kursi Pepatih Dalem dari 1847 hingga 1849, Patih Danureja III kerap kali menggunakan jabatannya secara berlebih. Kesetiaannya pun lebih condong kepada pihak Belanda, bahkan menyerahkan seserahan rakyat untuk Kasultanan Yogyakarta kepada Belanda. Lambat laun, hal tersebut memicu kemurkaan Pangeran Diponegoro dan tercetuslah Perang Jawa.

Dalam literatur umum dan buku Sejarah Nasional Indonesia, Patih Danureja III sering dikenal dengan Danureja IV karena adanya perbedaan pencatatan. Beberapa sejarawan mencatat Kiai Adipati Danureja sebagai Danureja III sehingga Sumodiro pun selaku patih berikutnya sebagai Danureja IV.

Patih Danureja IV memiliki nama kecil Raden Bagus Sukapja. Merupakan putra dari Kanjeng Raden Adipati Danureja II yang mulai memegang posisi Pepatih Dalem pada 1847. Selama melawan penjajah, ia menjadi salah satu panglima Diponegoro dalam memperjuangkan wilayah Banyumas dan dikenal berwatak licik.

Pada 1879, Danureja IV secara mandiri mengajukan pengunduran diri setelah hampir 33 tahun menjabat. Ia pun dikenal dengan sebutan Pangeran Harya Juru atau Pangeran Juru Ridder.

Pepatih Dalem yang menggantikan Raden Bagus Sukapja yaitu Patih Danureja V yang menjabat sejak 1879 hingga 1899. Ia berkontribusi besar dalam pembangunan ulang Tugu Golong Gilig yang terdampak gempa bumi hebat pada 1867.

Tugu pun diberi nama baru yaitu de Wite Pal yang berarti "tugu putih". Tugu tersebut kini populer dengan nama Tugu Pal Putih yang bisa kamu kunjungi di Jalan Jend. Sudirman, Gowongan, Kecamatan Jetis.

Patih Danureja VI memiliki nama Kanjeng Pangeran Harya Cakraningrat. Ia meneruskan estafet Pepatih Dalem sejak 1900 hingga 1911. 

Patih Danureja VI Selain mengabdi pada Kasultanan Yogyakarta, ia juga aktif sebagai seniman dan merupakan pelopor pagelaran wayang orang. Wafatnya Danureja VI pun meninggalkan karya tulis yang disebut kempalan Kitab-Kitab Islam dan Serat Betaljemur Adamakna.

Darah seni Danureja VI tampaknya turun Pepatih Dalem penerusnya, yaitu Kanjeng Pangeran Haryo Yudanegara III. Ia diangkat menjadi Patih Danureja VII pada 1912 dan mengabdi pada Kasultanan Yogyakarta hingga 1933.

Patih Danureja VII sangat menyukai seni pertunjukan, ia bertekad memperkenalkan pertunjukan wayang orang ke luar dari Keraton. Karena itu, Danureja VII sampai membuat drama tari Jawa bertajuk Langen Mandra Wanara.

Patih Danureja VIII merupakan patih terakhir dalam Kasultanan Yogyakarta. Masa jabatannya dimulai sejak 1933 hingga 1945, lengser secara terhormat karena sakit.

Danureja VIII terlahir pada era setelah politik etis yang membuatnya dapat menempuh pendidikan tinggi. Patih Danureja VIII pun memiliki gelar sarjana politik dari Belanda dengan lulusan ELS (Europeesche Lagere School).

Demikian penjelasan mengenai patih-patih Kasultanan Yogyakarta yang perlu kamu ketahui. Pepatih Dalem setelah Danureja VIII tidak diteruskan lagi oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX demi kesejahteraan Kasultanan dan rakyat.