ilustrasi laki-laki mengenakan blangkon (pexels.com/Renda Eko Riyadi)
Blangkon memiliki nilai filosofis yang mencerminkan status sosial pemakainya. Berdasarkan dalam jurnal berjudul Makna Blangkon Yogyakarta sebagai Simbol Status pada Film Dokumenter Iket Sirah, karya Hantoro dkk, berikut motif-motif beserta golongan pemakainya.
1. Golongan bangsawan yang terdiri dari sultan, keluarga sultan, serta kerabat kerajaan lainnya mengenakan motif wirasat, trumtum, dan modang.
- Motif wirasat melambangkan harapan agar pemakainya mampu mencapai kedudukan tertinggi, hidupnya mandiri, dan diberkahi.
- Motif Trumtum seperti bunga kecil yang tersebar punya makna tentang kehidupan yang tak lepas dari suka duka, kaya miskin, dan seseorang harus siap menghadapi segala keadaannya.
- Motif Modang dengan ornamen menyerupai lidah api menjadi simbol kekuatan dan kebijaksanaan. Motif ini mengingatkan bahwa seseorang harus bisa menaklukkan nafsu dalam dirinya.
2. Golongan priyayi adalah mereka yang berada di posisi tengah mencakup abdi dalem keraton, pegawai kepatihan, hingga pegawai pemerintahan. Masyarakat yang masuk golongan ini menggunakan blangkon dengan motif celengkewengan, gaya nyobis dan njebeh.
- Motif celengkewengan memiliki ragam hias komonde dan umpak, ini melambangkan keberanian, kejujuran, dan sifat apa adanya.
- Blangkon gaya nyobis dengan bentuk sinthingan-nya lebih lebar mengitari mondholan, biasanya digunakan dalam upacara resmi, atau oleh penari dalam pertunjukan tari gagahan seperti perang-perangan dan wayang orang.
- Gaya njebeh dengan bentuk melebar terbuka ke kiri dan kanan, biasanya dikenakan oleh abdi dalem kadipaten sebagai pakaian resmi.
3. Golongan rakyat yang terdiri dari buruh, petani dan pedagang, bentuknya lebih sederhana yaitu gaya menduran, kamicucen, dan nyinting.
- Gaya menduran modelnya tidak permanen, dan cara pemakaiannya juga mudah yaitu dengan melilitkannya pada kepala. Biasanya yang memakai gaya ini adalah para petani dan masyarakat pedesaan karena nyaman sekaligus praktis, sehingga mendukung kegiatan harian pemakainya.
- Gaya kamicucen memiliki sinthingan kecil dan ukurannya simetris. Pemasangan sinthingan ada di bagian mondholan. Kebanyakan dipakai oleh para sesepuh, tapi bisa juga dikenakan anak muda, namun ukuran sinthingan-nya lebih besar.
- Gaya nyinting, sinthingan-nya diikat kuat dan dilekok pada sebelah kiri dan kanan. Blangkon gaya ini punya keunikan tersendiri yaitu, kalau pemakainya dari golongan orang biasa, maka sinthingan bagian kiri ditarik ke bawah, sehingga posisinya gak seimbang, orang Jawa biasa menyebutnya sengkleh siji.
Blangkon gaya Jogja menjadi warisan budaya yang sarat makna. Bentuk dan motifnya menunjukkan tingkat kedudukan seseorang di masyarakat. Seiring perkembangan zaman, blangkon tetap lestari dan banyak diminati sebagai aksesori kepala.
Penggunaannya di luar keraton juga lebih fleksibel, namun pakem atau tertentu tetap dijaga terutama dalam lingkungan istana Jogja. Inilah yang bikin makin bangga, karena blangkon masih punya tempat di hati masyarakat dalam kehidupan modern seperti saat ini yang masih menjaga kearifan lokal.