Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi vaksinasi antraks. (Dok. Istimewa)

Intinya sih...

  • Kabupaten Gunungkidul kembali mengalami penyebaran antraks sejak Februari 2025, dengan puluhan ternak mati mendadak dan warga positif terpapar.
  • Antraks disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis yang menyerang ternak dan dapat menular ke manusia melalui tiga cara: kulit, inhalasi, dan gastrointestinal.
  • Tradisi brandu di Gunungkidul menyebabkan penularan antraks karena menyembelih hewan yang mati mendadak tanpa menyadari penyakitnya.

Kabupaten Gunungkidul kembali mengalami penyebaran penyakit antraks sejak Februari 2025 lalu. Ada puluhan ternak yang dilaporkan mati mendadak, juga sejumlah warga yang positif antraks.

Di balik itu, ada sebuah tradisi bernama brandu yang disebut-sebut sebagai salah satu penyebab penularan antraks di wilayah tersebut. Apa itu tradisi brandu? Apa yang menjadikan brandu sebagai salah satu penyebab wabah tersebut? Yuk, cari tahu selengkapnya!

1. Antraks menyerang hewan hingga manusia

ilustrasi spora antraks (IDN Times/Aditya Pratama)

Dikutip laman Centers for Disease Control and Prevention (CDC), antraks atau anthrax adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis yang seringnya menyerang ternak hingga hewan liar. Bakteri ini umumnya berdiam di tanah dan dapat membentuk spora yang sulit dibasmi. Spora ini dapat bertahan hidup hingga puluhan tahun di tanah dan tempat-tempat lain yang kering. 

jika hewan menghirup, memakan, atau meminum spora di tanah, tanaman, atau air yang terkontaminasi, bisa terserang antraks. Yang lebih parah, penyakit ini bisa menular ke manusia.

Antraks bisa berbeda gejala dari satu manusia dengan manusia lain tergantung pada bagaimana antraks masuk ke dalam tubuh. Sebab, antraks bisa masuk melalui kulit, paru-paru, atau sistem pencernaan.

  • Antraks kulit: terjadi akibat spora antraks masuk melalui luka atau lecet di kulit saat seseorang memegang hewan atau produk hewani yang terinfeksi. Biasanya muncul di kepala, leher, lengan bawah, dan tangan.
  • Antraks inhalasi: terjadi saat spora antraks terhirup oleh manusia. Karena menyerang paru-paru, jenis antraks ini adalah yang paling mematikan. Antraks inhalasi dimulai di kelenjar getah bening pada bagian dada sebelum menyebar ke seluruh tubuh.
  • Antraks gastrointestinal: jenis yang biasa terjadi karena seseorang memakan daging baik mentah atau setengah matang dari hewan yang terinfeksi. Bakteri langsung menyerang saluran pencernaan bagian atas seperti tenggorokan dan kerongkongan, lambung, dan usus, yang menyebabkan berbagai macam gejala.

Nah, jika seseorang terlanjur terpapar bakteri antraks, dokter umumnya akan menyarankan vaksin antraks atau menyarankan mengonsumsi antibiotik tertentu untuk mencegah berkembangnya antraks.

2. Berawal dari niat baik meringankan kerugian peternak

sapi (pexels.com/Pixabay)

Dilansir laman Universitas Gadjah Mada (UGM), tradisi brandu di Gunungkidul adalah tradisi menyembelih hewan ternak baik berupa sapi atau kambing yang mati mendadak. Kegiatan ini sudah dilakukan sejak zaman dahulu, di mana dagingnya ternak lantas dibagikan dan warga harus membayar iuran dengan tujuan meringankan beban pemilik hewan yang ternak yang mati mendadak. 

Cara hitung iuran yang diberikan kepada pemilik ternak yakni tergantung dengan harga sapi di pasaran. Setelah itu, jumlahnya dikurangi menjadi setengah atau sepertiga, dan dibagi rata per kepala keluarga yang ada di pedukuhan tersebut. Kurun waktu pembayaran daging biasanya selama selapan atau 35 hari.

Brandu di kalangan masyarakat Gunungkidul sulit dihilangkan. Selain adanya anggapan bahwa ini adalah upaya gotong royong untuk mengurangi kerugian dari pemilik ternak, sebagian menilai sebagai warisan leluhur yang perlu dilestarikan. 

3. Manusia yang terinfeksi antraks masuk rumah sakit hingga meninggal

ilustrasi merebus daging (pexels.com/Annushka Ahuja)

Dulunya, hewan ternak yang mati mendadak disinyalir karena mendem atau keracunan daun singkong muda. Namun sejak tahun 2020-an, masyarakat tentu tak mengira bahwa yang menyebabkan banyak sapi mati di Gunungkidul adalah penyakit antraks. Ternak yang terserang pun tidak mengalami tanda atau gejala sehingga tetap disembelih lalu diadakan tradisi brandu. 

Daging yang dibagikan, dimasak, lalu dikonsumsi ini justru mendatangkan bencana untuk banyak korban. Dikutip laman UGM, tahun 2019 di Kapanewon Karangmojo dan Ponjong ditemukan 12 orang positif yang mengakibatkan satu orang meninggal. Kemudian tahun 2021, tepatnya di Desa Hargomulyo, Gedangsari, terdapat tujuh orang positif tertular.

Tahun 2022 ada 13 orang positif antraks di Ponjong, tahun 2023 di Dusun Jati, Desa Candirejo, Semanu ditemukan 87 orang positif, 18 bergejala dan satu orang meninggal. Lalu pada April 2025, Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Gunungkidul kembali mengonfirmasi ada tiga warga asal Girisubo terpapar antraks dan dua orang dari Rongkop yang masuk kategori suspek antraks.  

4. Larangan mengonsumsi bangkai hewan sakit dari sudut pandang ilmu dan agama

Ilustrasi sapi mati akibat terpapar antraks. (Dok. Istimewa)

Dari banyaknya yang masuk rumah sakit bahkan meninggal, dapat disimpulkan bahwa antraks ternyata tidak hanya bisa menular pada hewan ternak tapi cukup berbahaya bagi manusia. Mereka yang terkena antraks akan merasakan gejala demam, sakit kepala, mual, muncul bentol merah, dan lain-lain.

Dalam laman UGM, Dosen Fakultas Peternakan UGM, Nanung Danar Dono, Ph.D. menyarankan agar tidak menyembelih apalagi mengonsumsi hewan ternak yang mati karena sakit. “Daging bangkai tidak boleh dikonsumsi karena matinya karena zoonosis bisa menular ke manusia. Tahun lalu di Semanu, ada 11 orang tertular dan satu orang meninggal,” katanya.

Dan apabila ditemukan hewan yang mati karena sakit atau terkena antraks, ada dua cara yang bisa dilakukan untuk pencegahan wabah kian meluas. Yakni dikubur, ditimbun, lalu disemen dan tidak boleh dibongkar selamanya atau bisa juga dilakukan kremasi di lokasi matinya ternak sesegera mungkin. 

Apabila dilihat dari kacamata agama Islam, hewan yang mati sebelum disembelih sesuai syariat disebut dengan bangkai. Dan, haram hukumnya mengonsumsi bangkai sesuai dalam Al-Quran Surat Al-An’am ayat 145 yang berbunyi, 

“Katakanlah, Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali (daging) hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi karena ia najis, atau yang disembelih secara fasik, (yaitu) dengan menyebut (nama) selain Allah. Akan tetapi, siapa pun yang terpaksa bukan karena menginginkannya dan tidak melebihi (batas darurat), maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

5. Telah ada Perda dan larangan Sri Sultan akan tradisi brandu

Petugas kesehatan hewan saat melakukan pemeriksaan PMK pada hewan ternak sapi (IDN Times/Istimewa)

Sejak tahun 2023, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Gunungkidul telah merampungkan peraturan daerah (Perda) yang diharapkan bisa mencegah tradisi brandu kembali dilakukan, atau mengonsumsi ternak yang sebelumnya sedang sakit atau sekarat. Ini adalah Perda Nomor 13 Tahun 2023 yang berisi tentang Penyelenggaraan Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai pemegang kepala pemerintahan di Yogyakarta bahkan telah melarang warganya untuk berhenti memakan dan membagikan daging ternak yang didapat dari hewan yang sakit. Dalam salah satu wawancara bersama media, Ngarsa Dalem juga meminta para peternak untuk lebih mengenali keadaan hewan ternaknya. 

Tidak bisa dimungkiri bahwa kemiskinan tak lepasnya dari penyebab adanya dan langgengnya tradisi brandu. Sebab daging seperti sapi dan kambing, merupakan barang mewah buat sebagian masyarakat. 

Editorial Team