Jathilan (kebudayaan.kemdikbud.go.id)
Tidak banyak orang yang mengetahui tentang kesenian Jathilan, karena kesenian ini lebih dikenal dengan istilah kuda lumping. Disebut kuda lumping karena kuda-kudaan yang dibuat dari anyaman bambu.
Sedangkan istilah Jathilan sendiri berasal dari ungkapan bahasa Jawa ketika menonton jaran kepang. “Jaranne jan thil-thilan tenan!”, yang berarti “Kudanya benar-benar menari dengan banyak tingkah”.
Jathilan dipercaya memiliki daya magis dalam tariannya. Ditarikan dalam kelompok berjumlah 6-8 orang, serta diiringi dengan alat musik tradisional yaitu gamelan dengan saron, kendang, dan gongnya.
Tarian akan diawali dengan aneka gerakan yaitu pacak golu (menggerakkan kepala ke kiri dan kanan), siring (bergeser kesamping dengan setengah berlari), njondil (melompat), berguling, bahkan sampai kerasukan. Saat kerasukan roh halus, jathilan mencapai klimaks tariannya. Para penari berada dalam keadaan ndadi atau kerasukan roh halus.
Dengan iringan musik yang semakin cepat, disinilah banyak terjadi adegan yang berbahaya seperti makan beling atau serpihan kaca. Itulah sebabnya harus ada pawang yang bertugas. Selain untuk mengeluarkan roh halus dari tubuh para penari, juga melakukan ritual yang bertujuan untuk memohon ijin kepada Tuhan agar jalannya pertunjukan diberi kelancaran.
Tarian ini berkisah tentang perjuangan seorang prajurit yang gigih melawan penjajah dengan kuda kebanggaannya. Tarian ini juga mengandung filosofis tentang kesenjangan sosial antara masyarakat kelas atas dan kaum pekerja. Kelas pekerja yang diwakili para penari berkuda digambarkan tanpa aturan karena tak berhenti bergerak.