Yogyakarta, IDN Times - Guru Besar Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus pengamat ketenagakerjaan, Tadjuddin Noer Effendi, menelaah fenomena job hugging yang kini tengah menjadi tren di kalangan pekerja milenial dan gen Z. Noer berpendapat, fenomena job hugging sejatinya bukanlah hal baru, melainkan sudah ada sejak dahulu.
Guru Besar UGM soal Pemicu Fenomena Job Hugging: Pasar Kerja Suram

Intinya sih...
Job hugging adalah kecenderungan untuk bertahan dalam pekerjaan meskipun tanpa minat dan motivasi, demi bertahan hidup di tengah ketidakpastian lapangan kerja.
Faktor keamanan finansial dan stabilitas menjadi alasan dominan dalam job hugging, karena mencari pekerjaan baru memiliki risiko tinggi di pasar kerja yang sulit.
Situasi pasar kerja yang runyam mendorong banyak orang untuk menambah pekerjaan sampingan seperti freelance atau bisnis kecil-kecilan sebagai upaya untuk meningkatkan pemasukan.
1. Apa itu job hugging
Mengutip laman resmi UGM, dijelaskan bahwa job hugging adalah suatu kecenderungan untuk tetap bertahan dalam satu pekerjaan yang tengah dijalani, sekalipun sudah tidak memiliki minat dan motivasi dalam menjalaninya.
Job hugging mau tak mau dilakoni demi bisa bertahan hidup saat ketidakpastian lapangan kerja kerap kali membayangi bersama maraknya ancaman PHK massal dan tekanan ekonomi yang kian membebani masyarakat.
2. Faktor keamanan finansial dan stabilitas, ketimbang ambil risiko
Noer melihat fenomena job hugging bukan sebagai hal baru, karena sudah ada sejak dahulu. Salah satu faktor masyarakat cenderung bertahan pada pekerjaannya yakni situasi pasar kerja yang cukup sulit.
"Mencari pekerjaan baru memiliki resiko yang tinggi, maka mereka cenderung memilih bertahan," kata Noer, Rabu (17/9/2025).
Menurut Noer, faktor keamanan finansial dan stabilitas turut menjadi alasan paling mendominasi dalam job hugging, meskipun situasi kerja tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Bagi Noer, pepatah 'berharap burung terbang tinggi, punai di tangan dilepaskan' cukup menggambarkan situasi para pekerja saat ini.
"Lebih baik bertahan dengan pekerjaan yang ada saat ini daripada mengambil keputusan yang cukup berisiko dan belum pasti untuk ke depannya," katanya.
3. Situasi pasar kerja runyam, tambah pekerjaan sampingan
Lebih jauh, Noer menganalisis bagaimana situasi pasar kerja dalam lima tahun belakangan ini yang tidak menentu. Masalah seperti angka pengangguran tinggi, daya beli rendah, dan laju perekonomian melambat juga memiliki efek domino terhadap serapan tenaga kerja baru, khususnya buat para fresh graduate.
"Nah, inilah yang menyebabkan tingginya angka pengangguran. Saat ini mencapai 7,4 persen dan tertinggi di Asia Tenggara. Mayoritas dari pengangguran adalah usia pencari kerja antara usia 15-24 tahun," ungkapnya.
Oleh karenanya, banyak yang kemudian menempuh jalan pintas dengan menambah pekerjaan sampingan. Upaya ini dilakoni ketimbang harus mengambil risiko melepas pekerjaan lama untuk mencari pekerjaan baru yang belum pasti.
"Masyarakat lebih memilih untuk menambah pemasukan dari pekerjaan sampingan seperti freelance atau bisnis kecil-kecilan," pungkasnya.