Paksi Raras Alit, Gintani Nur Apresia Swastika, dan Ifada Fauzia, pada jumpa pers FKY 2020 di Pendapa Dinas Kebudayaan DIY, Senin (7/9/2020) - IDN Times/Rijalu Ahimsa
Menurut Paksi, saat ini banyak para seniman mencoba menghidupkan sosial medianya seperti YouTube dan Instagram guna mengalih mediakan karya-karya mereka menjadi panggung virtual atau panggung digital.
"Semuanya (seniman) terus mengaktifkan YouTube dan sosial medianya untuk mengekspresikan diri, ya memang itulah cara kami yang paling memungkinkan yang bisa kita tempuh menghadapi ini," ucapnya.
Menurut Paksi, adaptasi pengalihan media karya juga sudah terjadi sejak zaman dulu. Seperti saat radio dan televisi masuk, para seniman juga harus beradaptasi untuk bisa mengalih mediakan karyanya dari panggung ke media seperti radio dan televisi.
"Dulu ketika radio masuk di Indonesia, pemain ketoprak juga harus alih media ke radio, pasti juga ada gesekan dulu. Main ketoprak kok ora ditonton uwong mung ditonton operator (main ketoprak kok tidak ditonton orang, hanya ditonton operator), dulu juga seperti itu. Televisi masuk, teman-teman teater masuk televisi, lha teater kok di-cut, atau di-shooting, atau diarah-arahke karo (diarahkan oleh) kameramen," ucapnya.
Paksi kembali menekankan bahwa ini menjadi salah satu bentuk adaptasi seniman pertunjukan dan merupakan inovasi yang harus dilakukan.