IDN Times/Nindias Khalika
Menurut Hardinah, ada beberapa macam roti yang dijual kala itu di antaranya roti tawar, roti sobek, roti trumpul, dan roti buaya. Selain itu ada roti kering yang dibuat Toko Djoen. Semuanya kini masih bisa ditemukan di toko yang terletak di Jalan Ahmad Yani tersebut. Pengunjung yang datang bisa mencicipi roti dengan merogoh kocek mulai dari Rp 5 ribu sampai Rp 17 ribu.
Roti bikinan tokonya, kata Hardinah, tidak menggunakan pengawet sehingga berbeda dengan roti lain. Di samping itu, resep kuno yang dipakai untuk membikin roti menjadikan tekstur serta rasanya khas zaman dulu. Menurutnya, hal tersebut yang membuat orang masih membeli hingga saat ini. Selain pengunjung Malioboro yang mampir, Hardinah menjelaskan bahwa toko rotinya mempunyai pelanggan yang biasa menyantap roti buatan Toko Djoen.
Terkait produksi, perempuan berkacamata itu mengatakan tokonya membikin 300 roti dengan jenis berbeda tiap hari. Meski tidak ramai seperti dahulu, Hardinah mengatakan roti buatan Toko Djoen tidak sepi dari pembeli sehingga bisnis ini bisa bertahan sampai sekarang. “Toko itu ramai dari dulu sampai zaman Pak Soeharto. Sekarang lebih sepi tapi tetap ada yang beli. Sekarang juga kan semakin banyak toko roti,” ucapnya.
Meski roti yang dijual tak jauh berbeda dengan yang dijajakan puluhan tahun silam, Hardinah mengatakan bahwa panganan kroket ragu buatannya tidak lagi dibuat. Padahal, makanan ini laris manis dan banyak dicari pembeli. “Ragu itu daging ayam yang pakai wortel. Sudah tidak buat lagi karena sudah tidak ada waktu bikin. Diajarkan ke orang lain pun tak bisa. Harus saya yang buat. Teknik membuatnya harus pas,” jelasnya.
Kini, Toko Djoen tetap setia menjual roti dan kue kering yang dibuat berdasarkan resep kuno yang diwariskan secara turun-temurun. Meski toko roti semakin menjamur, usaha Toko Roti Jakarta dan Toko Djoen mempertahankan bisnisnya membuat makanan itu bisa dinikmati oleh banyak orang dari lintas generasi.