Kue Apem, Camilan Lawas dari Zaman Mataram Kuno 

Apeman menjadi salah satu tradisi warga Jogja jelang Ramadan

Yogyakarta, IDN Times - Bentuk kue apem mengingatkan anak-anak pada dorayaki, camilan kesukaan tokoh kartun asal Jepang, Doraemon. Ada juga yang menyebutnya seperti roti khamir, camilan asal Arab. Bentuknya sama-sama bulat dan pipih serta berasa manis. Kue apem dibuat dari campuran olahan tepung beras, telur, santan, gula, dan tape yang kemudian dipanggang di atas cetakan bulat dan pipih.

Dan kue yang sebenarnya bisa ditemui saban hari di warung maupun pasar penjual aneka penganan itu menjadi hits menjelang ibadah puasa Ramadan di Yogyakarta dengan sebutan tradisi apeman. Mengingat acara bagi-bagi kue apem, bahkan ada yang diperebutkan itu tak hanya berlangsung di Keraton Yogyakarta. Melainkan menjadi tradisi sejumlah kampung di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Baca Juga: Pasar Sore Ramadan di Yogyakarta Harus di Zona Hijau dan Drive Thru

1. Penganan yang ada sejak zaman Mataram kuno

Kue Apem, Camilan Lawas dari Zaman Mataram Kuno Tradisi Ngebluk atau membuat adonan apem yang dilakukan oleh abdi dalem Keraton Yogyakarta. dok. Keraton Yogyakarta

Konon, nama apem berasal dari bahasa Arab, yaitu afuum yang berarti memberi ampunan atau pengayoman.

Sementara penganan khas Jawa itu, menurut Dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Heri Priyatmoko, sudah ada sejak zaman Kerajaan Mataram Kuno yang terus dilestarikan masa Kerajaan Mataram Islam hingga saat ini. Kehadirannya ada dalam sejumlah ritual kerajaan sebagai sesaji, seperti ketika peringatan jumenengan atau kenaikan takhta raja maupun menjelang puasa Ramadan.  

“Tradisi itu ada di Yogyakarta maupun Surakarta, karena keduanya beribu kandung Mataram Islam,” kata Heri saat dihubungi IDN Times, 10 April 2021.

Yang unik, camilan kuno itu masih langgeng hingga kini dan tak tergerus modernisasi zaman.

2. Permaisuri, putri raja, kerabat keraton membuat apem bersama abdi dalem

Kue Apem, Camilan Lawas dari Zaman Mataram Kuno Permaisuri dan putri keraton turut membuat apem bersama abdi dalem dalam tradisi Ngapem. dok. Keraton Yogyakarta

Proses pembuatan kue apem di Kasultanan Yogyakarta dimulai oleh permaisuri yang diikuti putri-putrinya. Tak terkecuali para istri kerabat keraton. Mereka mengenakan pakaian tradisi lengkap, seperti kebaya, kain jarit, dan konde. Prosesi dari awal hingga akhir itu dibantu para abdi dalem yang mengenakan pakaian kemben.

Proses memasak kue-kue apem dilakukan di Bangsal Sekar Kedhaton di komplek Keputren di Kasultanan Yogyakarta. Sementara di Kasunanan Surakarta, menurut Heri, dilakukan oleh para abdi dalem yang menjadi koki istana di dapur keraton yang bernama Gandarasan. Dapur itu biasanya untuk membuat makanan sesaji maupun untuk makanan cadhong atau jatah abdi dalem.

“Jadi keikutsertaan permaisuri sebagai simbol. Seperti memotong pita. Jadi yang mucuki atau memulai,” kata Heri.

3. Camilan keraton yang bisa dinikmati masyarakat kelas bawah

Kue Apem, Camilan Lawas dari Zaman Mataram Kuno Tradisi Ngapem atau Apeman untuk memperingati kenaikan takhta Sri Sultan Hamengku Buwono X. (dok. Keraton Yogyakarta)

Meskipun ada kesan kue apem adalah penganan keraton, tetapi penganan itu sudah menjadi makanan umum mudah dijumpai di warung-warung atau pun pasar-pasar tradisional. Bahkan rakyat biasa pun tak dilarang untuk membuatnya.

“Hidangan kerajaan kan selalu menjadi trendsetter. Selalu diikuti masyarakat di bawahnya,” kata Heri.

Ada konsep tradisi besar dan tradisi kecil. Tradisi besar adalah kebiasaan yang berlaku di kerajaan atau pusat-pusat pemerintahan. Semisal, kue apem dibuat untuk ubarampe dalam peringatan jumenengan atau kenaikan takhta raja. Tradisi kecil adalah kebiasaan yang berlaku di pedesaan. Misalnya, kue apem dibuat untuk suguhan acara kerja bakti bersih-bersih jalan.

Keberadaan apem yang bisa hadir dalam tradisi besar maupun kecil, menurut Heri karena bahan untuk membuat apem gampang ditemukan, tak harus impor atau pun mendatangkan dari pulau lain. Proses membuatnya pun tak rumit. Kemudian penerimaan maknanya sangat mudah dan tak diperumit.

“Artinya, apem bisa disajikan untuk pemujaan, makanan, dan tak ada pantangannya bagi siapapun,” kata Heri. Bisa dinikmati orang kaya-miskin, raja-rakyat jelata, Jawa-non Jawa, juga dari beragam agama atau kepercayaan.

4. Ada akulturasi budaya Jawa dan Islam dalam tradisi apeman

Kue Apem, Camilan Lawas dari Zaman Mataram Kuno Tradisi Ngapem atau Apeman untuk memperingati kenaikan takhta Sri Sultan Hamengku Buwono X. (dok. Keraton Yogyakarta)

Dalam Serat Centhini yang ditulis pada 1814-1823 yang menghimpun semua ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa juga mengisahkan tentang apem. Beberapa tokoh dalam serat itu dikisahkan melakukan perjalanan ke seluruh Pulau Jawa. Ada dialog yang menceritakan orang yang bertamu ke rumah tokoh desa disuguh beberapa aneka kuliner.

“Jadi apem itu seperti kolak. Tak hanya ada ketika Ramadan. Bisa dibuat kapan saja,” kata Heri.

Tidak cuma dibuat menjelang Ramadan, melainkan bisa ditemui dan dibuat pada hari-hari biasa. Seperti untuk kudapan pagi sebagai teman minum teh atau kopi. Ada juga yang dibuat untuk camilan ketika kerja bakti kampung. Ada juga yang menyelipkan kue apem bersama ketan putih dalam kotak-kotak makanan untuk acara syukuran khitanan, kelahiran bayi, atau pun pernikahan.

“Ada nafas kebudayaan islami yang hadir dari sajian apem,” kata Heri.

Ada pesan yang tersaji dari tradisi apem. Bahwa kehadiran Islam di Tanah Jawa mampu merangkul kebudayaan nenek moyang yang sudah ada.

“Ada harmoni. Jadi tak bisa dibaca sebagai klenik, tetapi akulturasi kebudayaan,” imbuh Heri.

5. Gunungan apem menjadi magnet berkumpulnya orang di kotaraja

Kue Apem, Camilan Lawas dari Zaman Mataram Kuno IDN Times/Daruwaskita

Dalam tradisi keraton, apem-apem yang dibuat kemudian disajikan dalam bentuk gunungan. Gunungan apem yang ditandu para abdi dalem itu diarak dari keraton dan kemudian disebar atau pun diperebutkan masyarakat. Dan tradisi gunungan apem itu pun bermunculan di sejumlah kampung di beberapa daerah di Jawa yang dikemas dalam acara festival.

“Dan ada maknanya apem dalam bentuk gunungan yang diperebutkan itu,” kata Heri.

Berebut apem dimaknai upaya kerja keras, kegigihan, etos kerja tinggi dari orang-orang untuk mendapatkan rezeki. Sedangkan gunungan merupakan bagian dari sarana persembahan dan rasa syukur kepada Tuhan.

“Sekaligus sarana berkumpul. Menjadi magnet kekuatan kebudayaan yang menyatukan masyarakat di pusat kerajaan atau kotaraja,” papar Heri.

Baca Juga: Mencicipi Kicak, Kudapan Manis Khas Jogja yang Cuma Hadir Saat Ramadan

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya