Roti Kembang Waru Pak Bas Kotagede. (IDN Times/Dyar Ayu)
"Nek biyen (kalau dulu) bahan baku ada gula jawa bisa gula pasir bisa, telur ayam kampung, dan tepung ketan," ujar Pak Bas mengenai bahan utama roti kembang waru. Kini beberapa bahan sudah diganti seperti telur yang memakai telur ayam broiler karena sulitnya mencari telur ayam kampung. Juga pemakaian tepung terigu karena saat ini lebih mudah ditemukan ketimbang zaman dulu di mana tepung terigu adalah buatan luar negeri.
Tak ada resep paten, tapi Pak Bas memiliki empat pokok penting saat membuat rotinya. Yakni kualitas terjaga, harga terjangkau, pelayanan yang baik, dan tepat waktu. Ia berusaha memahami bahwa setiap konsumen memiliki sifatnya masing-masing, sehingga jangan sampai membuat kecewa.
Pak Bas hanya berdua dengan istrinya, Bu Gidah, dalam memproduksi roti kembang waru setiap harinya. Sementara anak pertamanya juga menjadi produsen roti kembang waru tapi dengan teknik modern dan anak keduanya meneruskan kecintaannya akan seni dengan menjadi seniman tradisional.
Dalam sehari Pak Bas bisa memproduksi sampai 300 buah roti baik untuk pesanan atau stok jualan di rumah. Awal mula berjualan, sepotong roti kembang waru Pak Bas dihargai Rp45 dan kini seharga Rp2.300. Rotinya pun bisa awet sampai 5-7 hari tanpa perlu di kulkas, cocok jadi alternatif oleh-oleh dari Jogja.
Menariknya, meski sudah berusia lanjut, Pak Bas cukup lihai menerima pesanan melalui gawai tanpa bantuan anak atau cucunya. Meski begitu ia hanya menerima pembayaran secara tunai, ya!
Nama Pak Bas jelas tersohor sebagai pembuat roti kembang waru Kotagede. Hal ini bisa terlihat dari banyaknya tempelan potongan koran dari berbagai media di dinding rumahnya, serta deretan panjang daftar tamu yang pernah mengunjunginya. Bukan hanya wisatawan lokal, tapi juga mancanegara.
Kesabaran akan ketekunan mempertahankan makanan peninggalan Kerajaan Mataram dengan teknik yang masih tradisional menjadi ciri khas yang tak semua produsen mau melakoninya.