Sleman, IDN Times - Setiap 1 Oktober dunia merayakan Hari Kopi Sedunia. Di Yogyakarta, perayaan itu kerap meriah: kedai kopi berlomba memberi diskon, menggelar acara musik, hingga meluncurkan menu spesial. Kota ini, yang lama dikenal sebagai kota pendidikan, kota wisata, sekaligus kota perjuangan, kini menjelma pula sebagai “kota kopi”. Aroma arabika dan robusta menyeruak dari ribuan kedai yang tersebar hingga ke gang sempit kampung mahasiswa.
Data IDN Times mencatat, di Kecamatan Depok saja terdapat rata-rata 14 kedai kopi dalam setiap satu kilometer persegi. Wikikopi, gerakan koperasi yang menaruh perhatian pada riset dan pengembangan SDM komoditas kopi, menyebut jumlah kedai di Yogyakarta sudah lebih dari 3.500—termasuk yang ada di hotel-hotel. Potensi perputaran uangnya ditaksir mencapai ratusan miliar rupiah per tahun.
Fenomena ini sejalan dengan tren nasional. Badan Pusat Statistik (BPS) dan Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) melaporkan, konsumsi kopi domestik naik dari 1 kilogram per kapita per tahun (2013) menjadi 1,8 kilogram pada 2023. Kopi bukan lagi sekadar komoditas ekspor, melainkan bagian dari gaya hidup kelas menengah urban.
Namun di balik gemerlap kedai modern, industri kopi Indonesia menyimpan ironi.