TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Mengulik Tradisi Topo Bisu, Waktu Merenung saat Malam 1 Suro

Tradisi yang tepat buat merenung dan intropeksi diri

Tradisi Topo Bisu Mubeng Beteng. (instagram.com/visitingjogja)

Malam 1 Suro atau Tahun Baru Islam di beberapa daerah selalu dirayakan dengan meriah, termasuk di Yogyakarta oleh Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Salah satunya adalah Topo Bisu atau Tapa Bisu yang merupakan tradisi tahunan yang dilakukan dengan berkeliling area Keraton Yogyakarta tanpa bicara sepatah kata apa pun.

Sudah diadakan turun temurun sejak Sri Sultan Hamengku Buwono II, topo bisu dilakukan oleh ratusan orang yang datangnya tidak hanya dari kawasan Keraton, tapi dari seluruh Jogja dan sekitarnya. Tahun ini, tradisi ini bakal pada Rabu (19/7/2023) pukul 21.00 WIB.

Namun, bagaimana sebenarnya sejarah dan makna tradisi topo bisu tersebut? Berikut ini ulasannya!

1. Dilakukan malam hari dengan jarak mencapai 4 km

ilustrasi tradisi Mubeng Beteng (commons.wikimedia.org/Nurulbaitirohmah)

Topo bisu yang sudah ratusan tahun diadakan ini dilakukan saat malam hari setiap 1 Suro menurut penanggalan Jawa oleh para abdi dalem Keraton Jogja. Kegiatannya adalah berjalan kaki mubeng beteng (mengelilingi benteng) tanpa berbicara sekaligus merupakan agenda pengamanan Keraton yang pada zaman tersebut belum memiliki benteng.

Mengutip laman Visiting Jogja, jarak yang ditempuh topo bisu kurang lebih mencapai 4 kilometer. Berawal dari Bangsal Pancaniti, Jalan Rotowijayan, lalu melewati Jalan Kauman, Jalan Agus Salim, lalu Jalan Wahid Hasyim, Suryowijatan, kemudian menuju Pojok Beteng Kulon, Jalan MT Haryono, Pojok Beteng Wetan, Jalan Brigjen Katamso, Jalan Ibu Ruswo, sampai berakhir di Alun-alun Utara Yogyakarta.

Umumnya, tradisi mubeng beteng ini dilakukan dari sisi kiri atau barat keraton yang bermakna agar tradisi ini bisa ngiwake atau mengkirikan hal-hal buruk. Namun pada tahun 2019 mubeng beteng dilakukan sebaliknya sebagai tanda sedang berada di masa pagebluk atau memprihatinkan.

Baca Juga: https://www.idntimes.com/tag/menjalani-kehidupan

2. Makna diam sebagai intropeksi diri

Tapa bisu mubeng beteng sebelum masa pandemik. (Dok. Kraton Yogyakarta)

Tradisi topo bisu bukan sekadar agenda biasa, melainkan sekaligus sebagai cara intropeksi diri dan perenungan di Malam 1 Suro yang tak lain adalah Tahun Baru Islam. Membisu selam prosesi tersebut menjadi momen tepat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa sekaligus meminta perlindungan juga keselamatan untuk tahun baru yang telah datang.

Tidak hanya larangan berbicara, tapi peserta tapa bisu juga dilarang melakukan beberapa hal lain. Yakni makan, minum, dan merokok. Keheningan harus senantiasa terjaga sebagai simbol keprihatinan segala perbuatan yang telah dilakukan selama satu tahun ke belakang.

Baca Juga: Makna Garebeg Sawal, Wujud Syukur Keraton Yogyakarta

Berita Terkini Lainnya