Menikmati Cerita Sudut-sudut Yogyakarta Lewat Karya Fotografi

Keberagaman tidak harus dipaksa menjadi keseragaman

Yogyakarta, IDN Times – Sebuah pameran fotografi bertajuk “Jogja Istimewa dalam Cerita” digelar di Kafe Sonobudoyo Yogyakarta pada Jumat (25/10) sampai Minggu (27/10). Gelaran pameran foto itu diselenggarakan Paniradya Kaistimewaan.

Menurut Pimpinan Paniradya Kaistimewaan Benny Suharsono, pameran fotografi dipilih karena menjadi salah satu cara menyebarluaskan informasi keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Alasannya, keberagaman latar belakang budaya yang tumbuh di Yogyakarta jika dibingkai dalam bentuk fotografi akan punya nilai jual ketika dikemas di media cetak, media elektronik, atau pun media sosial.

“Keberagaman tidak harus menjadi keseragaman, tapi bisa menjadi keselarasan,” demikian pesannya.

IDN Times menyambangi ruang pamer yang terlihat sepi, Sabtu (26/10) siang lalu. Puluhan foto yang dipamerkan sejumlah fotografer dibiarkan tak berbingkai. Hanya ditempel begitu saja pada batang-batang bambu yang menjadi tulangan dinding-dinding kain. Namun kisah dari foto-foto itu penuh warna. Bagi yang penasaran dan belum sempat menengoknya, berikut gambaran foto-foto mereka yang dipamerkan.

1. Menunggu bekas air jamasan kereta tua

Menikmati Cerita Sudut-sudut Yogyakarta Lewat Karya FotografiIDN Times/Pito Agustin Rudiana

Pernah melihat ritual tradisi jamasan kereta tua milik Keraton Yogyakarta? Datanglah ke Yogyakarta ketika bulan Suro tiba. Sederet agenda budaya tradisi keraton telah menanti. Selain mubeng beteng tengah malam, juga melihat jamasan atau tradisi memandikan kereta keraton dengan air kembang.

Keretanya pun kereta kuno yang umurnya sudah ratusan tahun. Seperti rangkaian foto jamasan kereta yang dibidik fotografer Jalutajam pada September lalu adalah jamasan kereta tua Nyai Jimat. Kereta tertua itu disebut digunakan untuk penobatan Sri Sultan Hamengku Buwono I hingga III. Kereta tertutup berkelir kuning keemasan mempunyai roda-roda dengan berdiameter sangat lebar. Tak heran, abdi dalem yang membersihkan bagian atap kereta mesti naik bangku kayu yang tinggi.

Yang unik, masyarakat yang berjubel menonton bukan semata ingin melihat benda pusaka keraton saja. Melainkan menunggu para abdi dalem membawa air bekas jamasan untuk diperebutkan masyarakat. Sebagian dari mereka percaya air itu membawa berkah.

Nah, Jalutajam berhasil mengabadikan momen itu. Abdi dalem mengguyurkan satu ember air bekas jamasan dan warga pun berebutan mendapatkan. Ada yang membawa botol bekas air mineral, gayung, ember, dan apapun yang bisa buat wadah air.

Baca Juga: Larung Tumpeng, Wujud Syukur Warga Pinggir Kali Gajah Wong Yogyakarta

2. Sisi lain abdi dalem keraton

Menikmati Cerita Sudut-sudut Yogyakarta Lewat Karya FotografiIDN Times/Pito Agustin Rudiana

Ngomong-omong soal abdi dalem, sosok-sosok ini adalah orang-orang yang turut menjadi penentu pelestarian budaya dan adat istiadat keraton. Apalagi yang disebut abdi dalem Punakawan yang mayoritas bertugas di dalam keraton. Rata-rata usia mereka sudah tua. Dan biasanya menjadi pengabdi raja dilakukan secara turun-temurun dari kakek-neneknya.

Gampang untuk menandai. Seragam mereka berupa baju surjan berwarna biru bergaris-garis, dengan kain jarik untuk pakaian bawahan, dan tak lupa mengenakan blangkon. Yang perempuan mengenakan kain kemben dari sebatas dada dan rambut bersanggul. Terlihat klasik lagi kalau melihat mereka naik sepeda ontel dengan baju surjan menuju ke keraton.

Lantaran berada di balik tembok istana, tak banyak yang tahu aktivitasnya sehari-hari. Nah, ekspresi abdi dalem ini pun menjadi buruan fotografer. Ada yang ingin memotret senyum lepas abdi dalem lansia. Ada yang memotret bagaimana canda tawa para abdi dalem prajurit usai bertugas mengawal prosesi tradisi. Ada yang memotret dua abdi dalem berbagi bekal makanan dari rumah. Sampai abdi dalem yang menguap sembari merokok.

3. Potret keseharian warga jadi apik ketika ditangkap kamera

Menikmati Cerita Sudut-sudut Yogyakarta Lewat Karya FotografiIDN TImes/Pito Agustin Rudiana

Keluar dari keraton, sejumlah fotografer berburu foto-foto yang menggambarkan kehidupan masyarakat pinggiran di Yogyakarta. Di dalam pasar, ada yang memotret laki-laki tua pemanggul tandu yang digelayuti kaleng-kaleng minyak di kedua ujungnya. Dia berjalan naik turun tangga pasar.

Ada juga penjual jasa pembuat aneka stempel, papan nama, nomor rumah, dan papan petunjuk di sebuah kios kecil. Lantaran banyaknya, sosok si penjual sampai nyaris hilang ditelan aneka barang pesanan jualannya. Hayo, mana penjualnya?

Tak ketinggalan potret di sudut toilet umum tanpa penunggu. Entah di mana itu, tapi di luar toilet hanya disediakan satu wadah plastik untuk memasukkan uang Rp2.000 dari pengguna toilet. Lantaran tak ada yang jaga, pada dinding ditempel papan dengan tulisan “toilet kejujuran”. Meski pun tidak dijaga, seorang bocah dan lansia terbidik tengah memasukkan uang ke dalam wadah plastik.

4. Keindahan sudut lain Yogyakarta

Menikmati Cerita Sudut-sudut Yogyakarta Lewat Karya FotografiIDN Times/Pito Agustin Rudiana

Bagi yang suka dengan warna-warna langit, sejumlah fotografer juga memamerkan hasil buruannya ketika matahari terbit, saat senja, juga ketika langit tengah membiru. Tentu saja gak cuma warna langit. Tapi juga menjadikan obyek-obyek di bawahnya, seperti Tugu Pal Putih Yogyakarta, nol kilometer, gedung-gedung cagar budaya, hingga bandara menjadi sasarannya.

Seperti wajah kereta api dan perlintasannya di salah satu area langsir yang tampak berwarna suram kekuningan. Bukan karena foto lama sehingga terlihat kusam. Bukan pula karena editan foto sehingga memunculkan warna kekuningan. Melainkan fotografer Firda Nur Syahidah tengah mengabadikan dampak dari letusan Gunung Kelud yang meletus dan mengirimkan abunya ke Yogyakarta.

5. Pulang ke desa

Menikmati Cerita Sudut-sudut Yogyakarta Lewat Karya FotografiIDN Times/Pito Agustin Rudiana

Tak sekadar suasana perkotaan yang diubek-ubek fotografer. Suasana pedesaan juga mencuri hati mereka untuk mengabadikan lewat mata lensa.

Setelah melakukan perburuan ke Bantul, Kulon Progo, Gunungkidul, juga Sleman, mereka menemukan sudut eksotik pedesaan yang tak ditemukan di perkotaan. Jembatan bambu yang memanjang menyeberangi sungai. Ditambah lagi para fotografer mengabadikan momen aktivitas warga ketika melintasi jembatan bambu itu saat pagi, siang, dan sore hari. Mereka melintas sembari menuntun sepeda kayuhnya.

Dan yang bikin baper adalah pesan yang tertulis pada katalog foto yang ditempel di sela-sela foto yang dipamerkan. “Sempatkanlah berkunjung ke desa-desa, pasar tradisional, dan sapa mereka. Maka Anda akan temukan ketentraman dan kenyamanan yang sebenarnya.” Ayok!

Baca Juga: Mengenal 14 Wayang Kapi-Kapi di Wayang Jogja Night Carnival (WJNC) #4

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya