Lobotomi, Praktik Bedah Otak Kontroversial Abad 20

Lobotomi sempat populer pada tahun 1940-an

Lobotomi atau yang juga dikenal dengan leukotomi merupakan prosedur bedah otak yang dilakukan untuk menangani masalah gangguan kejiwaan seperti skizofrenia, bipolar dan depresi akut. Dalam operasi ini, dokter akan merusak atau memotong jaringan otak dalam lobus frontal untuk membuat pasien menjadi lebih tenang.

Meski terdengar mengerikan, praktik ini sempat populer antara tahun 1930-an hingga 1940-an. Hal tersebut mungkin wajar, mengingat saat itu belum ada solusi yang dianggap cukup efektif untuk menangani penyakit kejiwaan.

Seperti apa awal mula perkembangan lobotomi dan bagaimana dampaknya pada pasien? Lebih jauhnya, yuk simak di bawah ini.

1. Cikal bakal lobotomi dimulai pada abad 19

Lobotomi, Praktik Bedah Otak Kontroversial Abad 20Gottlieb Burckhardt (archive.org)

Sebelum adanya lobotomi, psychosurgery atau tindakan bedah otak untuk menangani masalah gangguan kejiwaan, telah dilakukan sejak abad 19. Adalah Gottlieb Burckhardt, seorang psikiater asal Swiss yang pertama kali mempraktikkannya.

Dalam eksperimennya pada tahun 1888, Burckhardt mengangkat bagian korteks otak pada enam pasien yang mengidap skizofrenia parah. Hasilnya, sebagian besar dari mereka berhasil menjadi lebih tenang dan mudah diatur, meskipun beberapa juga mengalami kejang dan satu orang meninggal pascaoperasi, dikutip National Library of Medicine.

Burckhardt kemudian memublikasikan penemuannya, berharap metode tersebut bisa menjadi solusi akhir bagi pasien yang tidak merespons pengobatan lain. Sayangnya, komunitas medis saat itu memberikan respons negatif dan menolak temuannya tersebut.

2. Lobotomi dikembangkan oleh Moniz pada tahun 1930-an

Lobotomi, Praktik Bedah Otak Kontroversial Abad 20António Egas Moniz (silan2019.com)

Pada tahun 1930-an, ahli saraf Portugis bernama António Egas Moniz mengembangkan sebuah metode psychosurgery yang kemudian dikenal dengan lobotomi. Dibantu dengan koleganya, Almeida Lima, operasi tersebut menargetkan bagian lobus frontal, yaitu bagian otak yang dikaitkan dengan perilaku dan kepribadian manusia.

Dilansir Live Science, Moniz awalnya melakukan lobotomi dengan cara melubangi tengkorak pasien di bagian depan, kemudian menyuntikkan etanol ke dalamnya untuk menghancurkan serat saraf yang menghubungkan lobus frontal dengan thalamus. Prosedur itu kemudian diperbarui dengan menggunakan alat serupa kawat besi yang disebut leukotom untuk merusak saraf.

Dalam eksperimen pertamanya, Moniz melaporkan bahwa operasi lobotomi yang ia kembangkan berhasil mengobati pasien dengan kondisi depresi, skizofrenia, gangguan panik dan mania. Meski begitu, operasi tersebut juga mempunyai sejumlah efek samping, di antaranya demam, muntah-muntah, gangguan mata, apatis dan lesu.

Penemuan Moniz pun menuai kontroversi. Komunitas medis awalnya meragukan prosedur tersebut, namun metode itu begitu populer hingga diadopsi oleh banyak dokter di berbagai belahan dunia. Pada tahun 1949, ia diganjar penghargaan Nobel atas temuannya itu.

Baca Juga: Kenapa Kita Tertarik Film Horor? Ini Fakta Ilmiah di Baliknya!

3. Lobotomi di Amerika dipelopori oleh Freeman dan Watts

Lobotomi, Praktik Bedah Otak Kontroversial Abad 20Walter Freeman melakukan lobotomi pada pasien (usatoday.com)

Di negeri Paman Sam, lobotomi dipelopori oleh Walter Freeman dan James Watts pada tahun 1937. Mereka memodifikasi prosedur Moniz dan menamainya dengan "teknik Freeman-Watts" atau "lobotomi prefrontal Freeman-Watts". Sama seperti sebelumnya, operasi tersebut juga disertai sejumlah risiko pascaoperasi, seperti kejang, infeksi dan bahkan kematian.

Pada tahun 1945, Freeman mengembangkan lobotomi transorbital. Kali ini, dokter tidak perlu lagi melubangi tengkorak, melainkan mengiris bagian depan otak pasien dengan orbitoklas, sebuah alat yang mirip obeng dengan ujung runcing, melalui rongga mata. Operasi tersebut dilakukan tanpa menggunakan anestesi pada pasien.

Mengutip Medical News Today, Freeman mengklaim prosedur terbarunya itu tidak memerlukan asisten bedah, ruang operasi steril, dan bisa dilakukan di mana saja dengan peralatan yang minim. Watts yang menentang metode tersebut karena menganggapnya tidak aman lantas keluar dari tim pada tahun 1950.

Di Amerika, lobotomi sebenarnya mendapat banyak tentangan dan kritik dari para ahli saraf. Namun, akibat gencarnya promosi kesuksesan operasi yang dilakukan Freeman di media, lobotomi berhasil menarik perhatian publik sehingga menimbulkan banyak permintaan dari publik. Praktik ini sendiri dilakukan dalam skala luas selama tahun 1940-an. Freeman sendiri disebut melakukan setidaknya 3.000 lobotomi, menurut obituari di Times.

Freeman melakukan lobotomi terakhirnya pada tahun 1967, di mana pasien yang ia tangani meninggal dunia lantaran pendarahan otak pasca operasi. Akibat insiden itu, Freeman dilarang melakukan lobotomi lagi.

4. Lobotomi menghasilkan lebih banyak dampak negatif 

Lobotomi, Praktik Bedah Otak Kontroversial Abad 20pasien lobotomi (nzherald.co.nz)

Meskipun beberapa pasien yang dilobotomi dilaporkan menunjukkan perkembangan mental, namun sebagian besar mengalami dampak yang mengerikan. Lobotomi membuat mereka kehilangan kemampuan untuk hidup secara mandiri dan kehilangan kepribadian.

Dilansir Medical News Today, banyak orang yang menjalani lobotomi juga mengalami efek samping dan komplikasi serius, seperti sakit kepala kronis, kejang, perdarahan di tengkorak, demensia, abses otak, hingga kematian.

Belum lagi apa yang dianggap sebagai gangguan kesehatan mental mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Hal ini mengakibatkan lobotomi juga dilakukan pada orang-orang dengan disabilitas intelektual, gay dan narapidana demi mengatasi perilaku disfungsional mereka.

Akibat prosedur yang kontroversial dan dampak negatifnya yang makin diketahui publik, lobotomi mulai ditinggalkan pada tahun 1950-an. Hal ini juga didorong dengan perkembangan obat antipsikotik dan antidepresan yang memberikan hasil yang jauh lebih efektif dan aman. 

5. Penanganan gangguan jiwa kini telah beralih pada obat-obatan

Lobotomi, Praktik Bedah Otak Kontroversial Abad 20ilustrasi obat penyakit kejiwaan (unsplash.com/Christina Victoria Craft)

Lobotomi kini sangat jarang sekali dilakukan. Meskipun prosedurnya telah jauh berkembang, kebanyakan dokter menganggap operasi ini sudah tidak lagi relevan.

Saat ini, gangguan kejiwaan umumnya ditangani dengan obat-obatan dan psikoterapi. Pada kasus di mana kedua solusi tersebut juga tidak mempan, maka pasien bisa diobati dengan terapi elektrokonvulsif (ECT), yaitu prosedur di mana arus listrik dalam jumlah kecil dikirimkan ke otak untuk memicu kejang singkat. Tindakan operasi hanya dilakukan sebagai langkah terakhir jika semua penanganan gagal.

Terlepas dari kontroversinya, lobotomi merupakan bagian dari sejarah perkembangan penanganan gangguan mental. Beruntung saat ini, dunia psikiatri telah menghadirkan sejumlah pengobatan yang jauh lebih aman dan efektif untuk mengendalikan gejala penyakit jiwa. 

Baca Juga: Kamu Suka Aroma Buku? Ini Penjelasan Ilmiahnya!

Fatimah Photo Community Writer Fatimah

null

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya