Kilas Balik dan Kontroversi Serangan Umum 1 Maret di Yogyakarta

Momentum besar kala Yogyakarta menjadi Ibu Kota Negara

Yogyakarta, IDN Times - Terhitung sejak tanggal 1 Januari 1946 sampai 17 Agustus 1950, Daerah Istimewa Yogyakarta pernah menjadi Ibu kota Negara Indonesia. Meski saat itu sudah Indonesia sudah menyatakan kemerdekaan, tetapi Belanda masih mengancam kedaulatan lewat agresi militer yang mereka lancarkan.

Serangan Umum 1 Maret adalah jawaban atas terjadinya Agresi Militer Belanda II dengan menjadikan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai medan tempur. Kondisi Yogyakarta pada saat itu tak kalah mencekam dibandingkan Jakarta sampai akhirnya Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan rakyat bersatu padu untuk menyerang Belanda, tepat pada 1 Maret 1949.

Baca Juga: Mengenang Sejarah Serangan Umum 1 Maret lewat Wayang Sinema

1. Latar belakang terjadinya serangan kepada Belanda

Kilas Balik dan Kontroversi Serangan Umum 1 Maret di YogyakartaBeberapa TNI sedang berjaga-jaga di perbatasan daerah Tempel dan daerah lainnya. (Dok. ANRI/Indonesian Press Photo Service)

Sebagai ibu kota negara, keadaan Daerah Istimewa Yogyakarta tidak kondusif pada saat itu. Terlebih diperparah dengan Belanda yang menyebarkan propaganda kepada dunia bahwa tentara Indonesia sudah tidak ada. Hal ini tentu tidak bisa didiamkan, pada saat itu Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, meminta persetujuan kepada Letnan Jenderal Sudirman untuk mengadakan serangan.

Jenderal Sudirman menyetujui dan ingin Sri Sultan Hamengku Buwono IX berkoordinasi dengan Komandan Brigade 10/Wehrkreise III yang tak lain adalah Letkol Soeharto. Melalui perencanaan yang matang, tepat pada 1 Maret 1949, terjadi serangan bertubi-tubi dan besar-besaran di seluruh wilayah Yogyakarta dan sekitarnya.

2. Yogyakarta diduduki selama 6 jam

Kilas Balik dan Kontroversi Serangan Umum 1 Maret di YogyakartaPasukan Garuda Mataram merayap disemak-semak melawan gerilya Belanda di sekitar Yogyakarta. (Dok. ANRI/Indonesian Press Photo Service)

Fokus serangan umum pada saat itu adalah Yogyakarta. Serangan dimulai tepat pada pukul 06.00 WIB diiringi oleh bunyi sirene. Dalam peperangan ini yang dipimpin oleh para petinggi TNI, tentara Indonesia rela naik gunung hingga masuk hutan untuk melancarkan aksi sesuai yang direncanakan.

Letkol Soeharto memimpin pasukan dari sektor barat sampai ke batas Malioboro. Sementara sektor kota, dipimpin oleh Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki, sektor timur dipimpin Ventje Sumual, sektor selatan oleh Mayor Sardjono, dan pimpinan sektor utara adalah Mayor Kusno.

Selama 6 jam, TNI dan rakyat berhasil menduduki ibu kota Yogyakarta atau sampai pada pukul 12.00. WIB. Setelahnya, seperti yang sudah ditentukan, rakyat dan TNI mundur dari daerah kedudukan masing-masing.

3. Sebanyak 300 prajurit Indonesia tewas

Kilas Balik dan Kontroversi Serangan Umum 1 Maret di YogyakartaPasukan Garuda Mataram merayap disemak-semak melawan gerilya Belanda di sekitar Yogyakarta. (Dok. ANRI/Indonesian Press Photo Service)

Meskipun hanya mampu menduduki Yogyakarta selama enam jam, efeknya ternyata sangat besar untuk Indonesia. Salah satunya adalah dengan membuktikan kekuatan TNI yang pada masa itu melakukan penyerangan dengan teknik gerilya. Serangan ini juga memperkuat posisi tawar Indonesia dalam perundingan Dewan Keamanan PBB.

Selain itu, serangan ini adalah cara ampuh Indonesia untuk membuat malu Belanda yang selama ini melakukan propaganda. Harta rampasan yang terdiri dari senjata Belanda pun menjadi tambahan logistik bagi Indonesia yang menguntungkan.

Sayangnya, Serangan Umum 1 Maret tersebut juga menimbulkan korban jiwa. Setidaknya tercatat ada 300 prajurit Indonesia dan 53 anggota polisi tewas. Para pahlawan ini kemudian dikuburkan di makam dekat Stasiun Yogyakarta pada saat itu.

4. Kontroversi Soeharto di balik Serangan Umum 1 Maret

Kilas Balik dan Kontroversi Serangan Umum 1 Maret di YogyakartaIDN Times/Vanny El Rahman

Dalam berbagai artikel dan buku sejarah, Soeharto kerap kali disebut memimpin langsung Serangan Umum Satu Maret. Namun, kisah lain ternyata diungkapkan oleh anak buah Letkol Soeharto, yaitu Abdul Latief. Dalam "Laporan tentang Dewan Jenderal kepada Jenderal Soeharto" dilansir laman penerbit HastaMitra, Abdul Latief memberikan kesaksian bahwa saat perang terjadi, Soeharto tidak turun langsung ke medan pertempuran.

Pada pukul 12.00 WIB, Abdul Latief dan tentara yang selamat kembali ke Markas Gerilya. Ia menemukan Letkol Soeharto bersama para ajudan dan pengawalnya tengah asyik menyantap soto babat. Saat itu Abdul Latief langsung memberikan laporan mengenai apa yang terjadi di selama serangan.

Tanpa berbasa-basi menawarkan makan, Soeharto justru kembali memberikan perintah kepada Abdul Latief untuk terus menyudutkan tentara Belanda yang pada saat itu berada di Kuburan Kuncen yang letaknya hanya beberapa ratus meter dari Markas Gerilya. Setelahnya, Letkol Soeharto langsung kembali ke markas besarnya. 

Baca Juga: Museum Benteng Vredeburg, Saksi Sejarah Perjuangan Kemerdekaan

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya