Mensyukuri Kebersamaan di Sadranan Wonolelo Sleman
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Sleman, IDN Times - Menyambut datangnya bulan suci Ramadan, masyarakat Jawa sudah lazim menggelar upacara sadranan atau nyadran. Tradisi yang sudah turun-temurun ini juga dilaksanakan oleh warga Pondok Wonolelo, Widodomartani, Ngemplak, Sleman, Daeah Istimewa Yogyakarta.
Mengambil tempat di halaman makam Ki Ageng Wonolelo, seorang pemuka agama yang dipercaya sebagai penyebar agama Islam di wilayah tersebut, Rabu (15/03/2023), ratusan anggota masyarakat Pondok I dan Pondok II bersama-sama berziarah dan membersihkan makam keluarga. Tak lupa pula, mereka membawa makanan dan memanjatkan doa bersama.
1. Sadranan Wonolelo digabung setelah belasan tahun terpisah
Sadranan atau Nyadran berasal dari kata 'Sraddha' yang dalam bahasa Sangsekerta artinya keyakinan.
"Nyadran dipahami sebagai cara untuk menghormati arwah para leluhur dan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa," ujar Ketua Panitia Sadranan Ki Ageng Wonolelo, Supardi.
Menurut Supardi, nyadran tahun ini terasa lebih meriah karena setelah sekian lama, perayaan yang biasanya digelar terpisah antara warga Pondok I dan Pondok II kini digabung dalam satu acara adat.
"Terakhir acaranya digabung antara Pondok I dan II adalah 16 tahun yang lalu. Setelah itu terpisah, sendiri-sendiri. Harinya sama, jamnya sama, ritualnya sama. Hanya lokasinya berbeda," kenangnya.
2. Dimeriahkan dengan lomba menghias sesaji tumpeng
Seperti upacara Sadranan pada umumnya di masyarakat Jawa, warga memulai kegiatan dengan mengunjungi makam keluarga dan membersihkannya diiringi dengan pengajian dan doa-doa.
Namun sejak 2012, Nyadran di dusun Wonolelo sudah dikemas dengan kirab budaya, tari-tarian, gelaran sesaji dan Gunungan Ulu Wetu. Tahun ini ditambah dengan lomba menghias sesaji tumpeng antar RT. Kemeriahan ini bukan sekadar gimmick melainkan untuk menambah daya tarik Wonolelo sebagai desa wisata kebudayaan di Yogyakarta.
Baca Juga: Ribuan Orang Ikuti Labuhan Jumenengan Dalem Sri Sultan HB X
3. Filosofi dan makna dalam Sadranan
Sadranan identik dengan rasa syukur akan rezeki dan keselamatan oleh masyarakat, diwujudkan dengan membawa beragam makanan yang diangkut dengan jodang (kotak panjang dari kayu yang ditandu dua orang) untuk kemudian dimakan bersama atau dibagikan ke warga sekitar.
Ada pula Sesaji yang merupakan kumpulan sajian pangan penuh dengan makna. Misal, ketan sebagai lambang bahwa manusia tempatnya salah. Apem, lambang ampunan dan memaafkan. Kolak yang manis melambangkan kelakuan baik. Aneka jajanan pasar yang menyimbolkan keberagaman manusia.
4. Wujud syukur masyarakat kepada Tuhan YME
Di dalam sesaji juga terdapat ayam ingkung sebagai pengingat untuk selalu pasrah kepada Tuhan. Dan yang pasti ada tumpeng yang filosofinya mengajak manusia untuk bersungguh-sungguh dalam usaha namun tidak lupa berdoa kepada Tuhan.
"Meskipun ada sesajen, orang tetap memanjatkan doanya kepada Tuhan yang Maha Esa bukan kepada zat lain."
"Tiap-tiap perlengkapan yang ada di dalam sesajen memiliki maknanya sendiri, karena seperti itulah cara nenek moyang kita bertutur dan memberikan nasihat yaitu secara halus dan simbolik," jelas panitia.
Menjelang akhir upacara sejumlah warga, tua dan muda, berebut mengambil Gunungan Ulu Wetu yang berisi bermacam buah-buahan, sayur mayur dan umbi-umbian. Menurut tradisi, Gunungan ini mewujudkan rasa syukur atas rezeki dan hasil panen yang bagus.
Baca Juga: 5 Tempat Favorit di Jogja untuk Tradisi Padusan Jelang Ramadan