Publik Anggap Penanganan Korupsi di Indonesia Memburuk, Ini Faktornya

Indeks persepsi korupsi di Indonesia anjlok ke posisi 102

Sleman, IDN Times - Transparency International pada akhir Januari 2021 mencatatkan adanya penurunan indeks persepsi korupsi Indonesia yang anjlok ke posisi 102 dari 180 negara. Selain itu, hasil survei dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengenai persepsi publik terkait pengelolaan dan potensi korupsi sektor sumber daya alam menunjukkan hanya 60 persen publik yang menilai tingkat korupsi di Indonesia meningkat selama dua tahun terakhir.

Bukan tanpa sebab, ada beberapa faktor yang menimbulkan anjloknya indeks persepsi korupsi. Menurut Pakar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhammad Fatahillah Akbar, penurunan indeks persepsi korupsi terjadi dalam 2 tahun terakhir lantaran adanya revisi UU KPK yang menuai kontroversi. Selain itu terlihat adanya kecenderungan penegakan hukum yang terus menurun.

Baca Juga: Jalani Isoman, Ini Makanan yang Perlu Dihindari menurut Ahli Gizi UGM

1. Putusan pengadilan belum menunjukkan rasa keadilan

Publik Anggap Penanganan Korupsi di Indonesia Memburuk, Ini FaktornyaPinangki Sirna Malasari mengikuti sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (30/9/2020) (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)

Akbar mencontohkan, pada kasus Jaksa Pinangki Sirna Malasari dalam perkara suap Djoko Tjandra, di mana dalam penegakan kasus tersebut Jaksa Pinangki divonis 10 tahun penjara. Tetapi pengadilan melakukan pemotongan masa hukuman hanya selama 4 tahun. Hal tersebut menunjukkan putusan pengadilan belum menunjukkan rasa keadilan bagi masyarakat dengan memberikan hukuman yang lebih berat.

“Jika dibandingkan dengan kasus Gayus Tambunan di mana Jaksa Urip divonis 20 tahun penjara, tetapi pada kasus suap Djoko Tjandara justru Jaksa Pinangki hanya 4 tahun saja,” ungkapnya pada Selasa (10/8/2021).

2. Tren penegakan korupsi juga menurun

Publik Anggap Penanganan Korupsi di Indonesia Memburuk, Ini Faktornya(Ilustrasi KPK) ANTARA FOTO/Nova Wahyudi

Selain hal tersebut, dari sisi tren penegakan korupsi di tanah air juga dirasa menurun. Misalnya, pada kasus korupsi Bansos COVID-19 yang menyeret Mantan Mensos Juliari Batubara.

“KPK hanya mengajukan tuntutan 11 tahun pidana penjara padahal bisa dimaksimalkan 20 tahun. Tidak seperti kasus Akil Mochtar di mana KPK mengajukan tuntutan yang dimaksimalkan yakni penjara seumur hidup. Kondisi saat ini menunjukkan adanya penurunan dalam pemberantasan korupsi,” urainya.

Bukan hanya itu, adanya peristiwa penonaktifan 75 pegawai KPK yang tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) turut berdampak kontraproduktif terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Menurutnya, hal tersebut mestinya diselesaikan secara internal dan tidak sampai keluar ke hadapan publik karena bisa menyebabkan penurunan persepsi masyarakat terhadap pemberantasan korupsi.

3. KPK juga harus lakukan pengawasan terhadap kinerja aparat penegak hukum

Publik Anggap Penanganan Korupsi di Indonesia Memburuk, Ini FaktornyaPinangki Sirna Malasari, mengikuti sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta pada Rabu (21/10/2020) (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)

Terlepas dari penurunan indeks persepsi publik terhadap penanganan korupsi, Akbar menilai bahwa penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di Indonesia sudah berjalan dengan baik. Putusan MK mempermudah keleluasaan KPK dalam melakukan penyidikan. Kendati begitu, ia memandang ke depan perlu ada sinergi antara KPK dengan aparat penegak hukum lainnya.

“Lalu memperbaiki integritas pemberantasan korupsi. Tidak hanya UU KPK yang diperbarui tetapi juga UU Korupsi,” paparnya.

Akbar menilai, jika KPK juga harus melakukan pengawasan terhadap kinerja aparat penegak hukum dalam upaya meningkatkan pemberantasan korupsi di setiap lini. Masyarakat juga diharapkan dapat berpartisipasi dalam pengawasan layanan publik dan melakukan pelaporan jika melihat adanya tindak korupsi.

Baca Juga: Epidemiolog UGM Nilai PPKM Belum Berdampak Turunkan Kasus COVID-19

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya